Mohon tunggu...
Patra Jasa
Patra Jasa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hati-hati, Sejarah 1965 Bisa Terulang

29 November 2016   05:50 Diperbarui: 29 November 2016   07:47 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 1965, perjalanan bangsa Indonesia dinodai dengan adanya upaya makar oleh PKI. Mereka melakukan tindakan penculikan dan pembunuhan terhadap para Jenderal Angkatan Darat 30 September, dan menguasai beberapa objek vital Negara.

Guna memprovokasi masyarakat, PKI menuduh para Jendral telah membuat Dewan Jendral dan bersiap melakukan aksi makar pada 5 Oktober. Dan pada tanggal 1 Oktober, PKI membuat Dewan Revolusi Indonesia. Untuk menghindari risiko kegagalan, tokoh-tokoh PKI tidak memegang pimpinan. Sebaliknya, perwira ABRI yang memegang pimpinan, bertindak sebagai Ketua Dewan Revolusi, yaitu Letkol Untung Syamsuri. Dengan demikian kalau Dewan Revolusi mengalami kegagalan, PKI tidak akan dilibatkan.

PKI bergerak tidak secara tiba-tiba, tapi secara perlahan. Mereka sejak tahun 40 an telah menjadi orang yang paling terdepan membela Soekarno, dan memberikan saran-saran kepada Soekarno. Saat ada pihak yang mencoba menghalangi atau diangggap tidak sepaham dengan mereka, maka PKI menghabisinya. Itu yang mereka lakukan kepada para Jendral.

Berkaca sejarah tersebut, ada baiknya kita mewaspadai kemungkinan terjadinya hal serupa. Siapa tahu ada pihak yang menuding pihak lain berbuat makar, tapi ternyata mereka sendiri yang berbuat. Karena jauh sebelum melaksanakan upaya makar, PKI telah masuk ke lingkaran Soekarno dan memberikan saran-saran yang berujung pada makin memanasnya kondisi Indonesia.

Kita takut pola yang digunakan PKI dahulu kembali diterapkan. Ada pihak yang menyusup diantara Presiden Jokowi dan memberikan saran yang menyesatkan dan menimbulkan rasa saling curiga, dan berujung pada perpecahan diantara anak bangsa.

Tujuan dari orang yang melakukan makar tersebut adalah berupaya merebut tampuk kekuasaan, dengan cara-cara menurunkan Presiden ditengah jalan. Mereka sangat ambius dan melanggar aturan yang berlaku, tidak peduli harus saling adu domba dan memfitnah pihak lain. Tidak tertutup kemungkinan mereka telah mulai memberikan masukan kepada Presiden dalam mengambil keputusan yang salah. Presiden harus benar-benar teliti, jangan sampai semut diseberang lautan kelihatan, gajah di depan mata tidak terlihat.

Jika Jokowi terjebak dengan saran menyesatkan mereka, maka kepercayaan masyarakat kepada Jokowi akan semakin turun dan berujung kepada makin seringnya aksi demonstrasi. Mereka berharap akan terjadi kerusuhan dan bentrokan antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan aparat. Saat massa itu datang, maka mereka akan tampil sebagai pahlawan dan merebut kekuasaan dari tangan Jokowi.

Dalam konstitusi menyebutkan seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan. Dibeberapa Negara memang ada penguasa jatuh karena people power, contohnya di Afrika Utara. Tapi harus diingat, revolusi sosial terjadi tidak bisa tiba-tiba dalam waktu singkat dan dirancang seorang diri oleh elit politik.

Karena itu, mari kita bersama memperkuat persatuan dan kesatuan, serta menjaga kedamaian di Indonesia. Jangan mudah dihasut dan ikut menyebarkan fitnah, alangkah baiknya saling mengingatkan. Baik mengingatkan Pemerintah, penegak hukum dan sesama warga Negara.

Pihak yang mengingatkan jangan dituduh sebagai orang yang akan menjatuhkan, karena mereka yang berani mengkritik dengan memberikan solusi adalah orang yang sayang kepada kita. Kalau ada orang yang selalu memberikan pujian walau itu salah, maka dia tidak sayang dan ingin kita jatuh.

Bersama kita jaga agar Presiden mampu menjadi pemimpin Indonesia yang menemukan solusi terbaik bagi persoalan saat ini. Bersama kita ciptakan kondisi yang kondusif, dan tidak saling menyakiti.  

Upaya untuk menurunkan Presiden ditengah jalan juga pernah terjadi saat SBY menjabat. Tahun 2013 mulai ramai dilakukan gerakan cabut mandat SBY, dan digawangi oleh beberapa orang tokoh-tokoh. Namun upaya tersebut tidak mendapatkan respon yang baik ditengah masyarakat, dan tidak terjadi perpecahan.

Salah satu alasan kenapa tidak terjadinya perpecahan ditengah masyarakat adalah SBY mampu menyelesaikan dengan elegan. Sehingga gerakan tersebut dapat meredup dengan sendirinya, dan SBY menyelesaikan masa baktinya hingga tahun 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun