Beberapa orang mengutip pendapat Aa Gym terkait persoalan Almaidah 51. Begitu juga berkenaan kejadian sesudahnya. Mereka menjadikan pendapat itu hujah yang kuat. Dalil yang mengalahkan pendapat ulama lain, bahkan ahli tafsir sekalipun. Pendapat Aa Gym dijadikan meme sakti. Bukan sekadar menguatkan pendapat, tapi juga untuk mengolok-olok pendapat orang lain.
Saya tidak membenci Aa Gym, sama halnya, saya tidak membenci Rizieq Shihab. Saya hanya ingin mendudukkan persoalan sebagaimana mestinya. Melihat lebih dekat, berpikir lebih rasional.
Abdullah Gymnastiar, begitu ia menyebut dirinya sendiri, bernama asli Yan Gymnastiar. Ia terlahir dari keluarga tentara. Yan, dalam tulisan biografi yang menggugah disebut tumbuh dalam keluarga agamis. Saya tidak mengerti definisi agamis ini. Apakah maksudnya keluarga taat beragama? Atau keluarga yang mumpuni ilmu agamanya?
Ada jutaan orang lahir dari keluarga muslim, bahkan orang tuanya juga lulusan pesantren. Tapi keluarga yang mengingatkan untuk salat dan mengaji tidak serta-merta membuat mereka paham ilmu agama. Untuk disebut saleh, atau taat melakukan ritual, mungkin bisa. Tapi untuk disebut alim belum tentu.
Dan inilah persoalan terbesar Aa Gym. Ia tak pernah belajar agama secara mumpuni. Abdullah Gymnastiar tidak berproses sebagaimna mestinya. Sementara ilmu perlu sanad, perlu rantai pengajaran yang menyambung kepada Rasulullah. Ilmu tanpa guru definitif rawan tersesat dan menyesatkan.
Dalam perjalanan "keulamannya," kisah Aa Gym mirip cerita FTV religi. Tiba-tiba saja ia mendapat pengajaran batin yang luar biasa akibat merawat adiknya yang sakit. Kemudian pada tahun 1980 ia bertemu seorang Ajengan (guru agama kharismatik masyarakat Sunda), yang konon mengajarinya ilmu laduni. Saya tidak tahu ini cerita versi asli Aa Gym, atau hanya dilebih-lebihkan orang lain. Tapi ada persoalan besar di sana.
Persoalan pertama, keajaiban bernama ilmu laduni ini langsung datang dari Tuhan. Ia bukan model ilmu konvensional yang bisa diajarkan. Apalagi diwariskan seperti harta benda. Berkaitan dengan ilmu laduni, dalam Alquran surat Alkahfi disinggung soal ini. Di sana dikisahkan sang pemilik ilmu ini (Nabi Khidhir) menjadi guru Nabi Musa. Tapi sampai akhir cerita, Nabi Musa tak mampu mengikutinya.
Persoalan ke dua. Menurut pengakuan Aa Gym, ia mendapatkan pencerahan batin setelah mimpi bertemu Rasulullah. Dari sana muncul dorongan untuk lebih mendekatkan diri pada agama. Jikapun Aa Gym mendapatkan pencerahan soal keimanan, itu tidak berarti apa-apa terkait pemahaman hukum agama. Aa Gym tetaplah bukan ahli fikih, ahli bahasa, ahli quran-hadits, ahli ilmu tauhid. Aa Gym bukan ulama sesuai definisinya.
Tapi orang-orang terlanjur menganggapnya ulama, hanya karena ia bisa berceramah di TV. Orang-orang tidak perduli definisi dan kriteria ulama. Mereka hanya melihat gambaran luar dengan atribut keagamaan seseorang. Padahal kata ulama yang berbentuk tungggal kata alim, adalah sebutan untuk orang yang benar-benar ahli ilmu keagamaan. Ia punya sanad keilmuan dan proses belajar yang lama.
Dari sini muncul masalah besar. Pendapat Aa Gym yang bukan ahli ilmu agama ini dijadikan dasar oleh orang awam. Ia dijadikan pembenaran. Ia adalah alat legitimasi untuk menguatkan pendapat. Ketidak-pahaman Aa Gym ini menular dengan cepat melalui medsos. Padahal ia memutuskan hukum (fatwa) hanya dengan perasaan. Suatu hal yang tidak logis dan menciderai prinsip ilmu pengetahuan.
Sebenarnya ini bukan hanya tentang Aa Gym. Banyak ustadz televisi yang tak menguasai ilmu kegamaan mendalam. Hal itu terlihat ketika mereka keliru memahami ayat Quran atau Hadits. Seperti yang sering mereka sebut soal ayat, alfitnatu asyaddu minal qotli. Semua orang yang mempelajari kitab tafsir, paham tafsiran alfitnatu di sana bukan "fitnah" secara literal. Ia istilah untuk kesyirikan.