Lagi-lagi soal kemanusiaan dijadikan tameng ketika membicarakan Papua. Serta pula ilusi indah tentang kebebasan. Orang-orang, terlebih yang merasa berhak membela kaum subaltern, marjinal, membuat gelombang kecemasan berlebihan. Ya, kita menolak represi, ketidak-adilan. Pemerintah sejak jaman Soekarno memang tak becus mengayomi. Tapi kita juga menolak pembodohan dan penyebaran kebohongan.
Orang-orang dengan mudah memblow-up kabar biasa. Diolah dan dibumbui secara bombastis. Lalu kabar racikan itu ditelan begitu saja tanpa dikunyah oleh orang yang merasa lebih berhak membela mereka, membela kebenaran dan hak rakyat Papua. Kabar biasa itu menjadi heboh, terutama dengan bantuan media sosial tanpa tanggung-jawab. Yang penting bisa eksis, kritis, narsis, bombastis, fantastis. Persetan dengan kebenaran, alih-alih nasionalisme. Soal mahasiswa Papua di Yogya misalnya, yang menurut saksi mata bukan peristiwa besar, dijadikan bahan nyinyir di media sosial.
Bagi mereka barangkali, kemanusiaan harus dibela, bahkan kalau perlu dengan kebohongan dan bumbu gurih yang tak masuk akal takarannya. Kemanusian itu mereka tumbuhkan tanpa lahan kebenaran. Apalagi bagi mereka yang memang bekerja untuk membuat kecemasan bernilai jual. Bisa oleh orang media yang haus berita, aktivis yang dibayari cukong asing, atau politikus yang mencari celah untuk menyalahkan lawan politiknya. Soal kemanusiaan Papua ini menjadi seksi dan mencuri perhatian.
Perkara Papua bukan hal baru. Tuntutan mereka juga sudah lama ada. Tapi merdeka bukan solusi. Kita ingat Timor Leste. Tahun-tahun berdarah telah dilalui. Ribuan nyawa hilang percuma demi sebuah agresi. Namun ketika mereka merdeka, pergolakan tetap terjadi setiap saat. Dan yang paling diuntungkan dengan pemisahan diri itu bukan rakyat Timor Leste, tapi Australia. Merekalah yang mendapatkan durian runtuh perekonomian. Mereka yang dulu gigih mendukung kemerdekaan, mereka pula yang paling rakus menghisap nadi Timor Leste.Â
Skenario yang sama hendak diterapkan di Papua. Orang-orang yang berkepentingan bersembunyi di balik kata 'kemanusiaan.'
Kesejahteraan lebih penting diwujudkan di Papua. Pemerintah memang terlambat. Selama puluhan tahun rakyat Papua diperkosa haknya, dimanfaatkan kepentingannya, dieksploitasi kekayaan alamnya. Sementara itu daerah Jawa dan Sumatera dianak-emaskan. Padahal sebenarnya, seluruh Indonesia telah mengalami eksploitasi. Orang-orang picik menyerang Jawa sebagai suku dan melupakan fakta, ribuan orang jawa yang miskin ditransmigrasikan ke luar jawa.Â
Orang-orang Jawa juga mengalami penindasan. Tanah mereka dirampas, rumah mereka digusur, keluarga mereka diusir, dengan bahasa indah transmigrasi itu.
Kita patut bersedih, kita mesti mengutuk pemerintahan bebal yang menelantarkan rakyatnya. Tapi merdeka tanpa menyiapkan kekuatan adalah bunuh diri. Burung-burung bangkai yang selama ini mengintai Papua akan bersorak girang. Segelintir orang memang akan jadi pemenang. Mereka akan muncul sebagai penguasa baru dari negara baru. Tapi jutaan yang lain nasibnya tak jauh beda dengan Timor Leste. Mereka tidak benar-benar merdeka, karena tak memiliki kemampuan untuk membela diri dari ancaman dari luar.
Ini bukan lagi soal kemanusiaan, kemerdekaan, hak untuk menentukan nasib. Tapi ini soal kehendak untuk berkuasa oleh segelintir orang.Â
Dalam hal ini, Papua adalah gadis lugu yang cantik mempesona. Pemerintah sama halnya orang tua tiri yang bengis dan lalai. Sementara negara tetangga (dengan aktivisnya yang berisik itu) adalah para lelaki hidung belang. Mereka terus saja heboh berteriak soal kebebasan. Menyuruh gadis dusun yang molek itu untuk kabur dari rumah dan menentukan nasibnya sendiri. Setelah gadis itu sendiri di luar tanpa perlindungan, lelaki hidung belang itu akan dengan mudah mencengkeram dan menggagahinya. Dan Papua, gadis dusun yang lugu itu selamanya akan berduka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H