Nyanyian itu tetap terdengar, meski aku sudah berusaha menutup telinga. Anehnya, aku masih saja tidak melihat satu orang pun di sana. Tapi, penglihatanku tidak pernah salah. Tiba-tiba aku melihat sehelai kain putih yang melintas berulang kali di teras rumah itu. Lintasan yang sangat cepat, nyaris tak terlihat oleh mata.
Suara gamelan dan seruling yang semula mengalun lambat, pun telah berubah menjadi sangat cepat. Seolah ingin mengiringi tarian sehelai kain putih itu. Detak jantungku mulai tak beraturan. Ini adalah hal yang tidak wajar. Sepertinya aku harus masuk ke dalam rumah.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan secangkir kopi ataupun bintang. Yang kuingin hanyalah pergi dari teras rumahku ini. Namun saat aku berdiri, tiba-tiba saja pandanganku menangkap sosok wanita bergaun putih sedang berdiri tepat di depan gerbang rumah tua itu.
Wanita dengan gaun putih yang terlihat sangat lusuh. Rambutnya panjang, menjuntai hingga ke tanah. Wajahnya berwarna hitam. Tangannya hanya tinggal sebelah. Dia menatapku dengan tajam. Aku tidak mungkin salah memperhatikan kedua bola matanya yang nyaris keluar dari tempatnya.
Keadaan yang seperti inilah yang membuatku lemah. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan jika dihadapkan dengan sosok wanita mengerikan itu. Tapi, aku harus mengingat pesan nenek, untuk menjaga pikiranku.
Brukh,
Aku mendengar suara benda yang terjatuh di belakangku. Hendak menoleh, tapi aku tak kuasa untuk menahan takut. Namun rasa penasaranku begitu kuat. Dan akhirnya, aku pun menoleh dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
"Apa maumu!" Aku menjerit histeris.
Sosok wanita berwajah hitam itu sudah berada di hadapanku. Dia berdiri memataung, menatapku dengan tajam. Wajahnya terkoyak, kulit kepalanya terkelupas dan meneteskan nanah. Tubuhnya mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Wanita itu perlahan mendekatiku, mengarahkan kuku-kuku hitamnya pada ulu hatiku.
"Jangan! Aku tidak bersalah," lanjutku padanya.
Dia masih mematung dengan jemari yang telah siap merobek tuntas perutku. Jaraknya dengan tubuhku hanya tujuh centi meter. Aku dapat melihat pakaian lusuhnya dengan jelas. Pun dengan kakinya yang tidak menapak pada tanah. Belatung, cacing, dan hewan melata lainnya satu persatu keluar dari lubang-lubang kecil di wajahnya. Hewan-hewan itu perlahan berjatuhan ke bawah, kemudian merayap di tubuhku.
Aku ingin sekali lari dan meninggalkan wanita ini sendirian, tapi aku tak kuat lagi untuk melangkahkan kaki. Wanita berwajah hitam ini kembali menyanyikan lagu lingsir wingi di hadapanku. Rambutnya yang sangat panjang bergerak, menari seiring dengan alunan lagunya. Helaian demi helaian rambut itu pun menggerayangi tubuhku. Melilit lengan dan kakiku, sampai aku tak mampu lagi untuk menggerakkannya.