Sepotong roti bertanya pada tuannya. Apakah bersyukur sulit dirasa? Kesenduan nampak darinya. Ia tak ingin seperti manusia--penikmat segala isi dunia. Yang lupa akan rasa syukur pada Tuhannya yang Esa.
Sang tuan terdiam tanpa kata. Hendak membela tapi apa yang akan diucapkannya. Manusia memang bukan malaikat yang tak punya cacat. Tapi sepotong roti pun tidak salah berpendapat. Keduanya pun terdiam, menikmati pijar mentari yang terasa semakin hangat.
Sepotong roti lukiskan kisah. Hatinya bersedih nan gelisah. Embun dan daun yang menari, baginya pun tak lagi indah. Ia hanya ingin sang tuan tak menjadi manusia yang serakah. Pandangan tentang manusia telah membuat hatinya sendiri resah. Begitulah kisah sang roti yang tak memahami peliknya kehidupan ini.
Mentari yang meninggi sinari sang tuan dan sepotong roti yang pandai berkisah. Ketenangan mulai terlihat di antara keduanya. Sang tuan dengan kerendahan hatinya mencoba tuk jelaskan pada roti miliknya. Ia berkata, bahwa tidak semua manusia memiliki perilaku yang sama.
Manusia dutuntut tuk penuhi kebutuhan dunia. Tak salah sepenuhnya, pun tak benar seutuhnya jika ada manusia yang serakah. Semua sikap dan tindakan harusnya telah diperhitungkan. Tuhan pun kan memberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang dilakukan. Sepotong roti pun tersenyum bahagia setelah mendengarkan nasihat tuannya. Ia tahu tuannya tak kan ceroboh seperti manusia lainnya.
-Kaiza.111118-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H