Entah mengapa malam itu terlalu menyakitkan bagiku. Luka yang tidak berwujud nyata, tetapi rasanya mampu mengalihkan duniaku.
"Aku sedang berusaha ayah!" Jawabku dari dalam hati.
Jawabanku ternyata tidak membuatnya menyerah. Bagaimana rasanya jika yang menempati raga ini bukanlah jiwa manusia? Sakit bukan? Ah, aku ingin sekali memakinya dengan kalimat seperti itu, agar dia menyadari kesalahannya. Namun, semua hanya  berakhir sia-sia.
"Apa maumu?" Tanyaku singkat.
Aku butuh tenaga untuk memberontak. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu apa tujuannya masuk ke dalam ragaku.Â
Harap-harap cemas dirasakan oleh keluarga yang sedang menantikan kesadaranku. Yah, di sekelilingku sudah penuh oleh orang-orang terdekat yang siap membantuku.
Jika memang bisa, aku akan sangat beruntung sekali memiliki orang-orang hebat seperti mereka. Tapi, gadis kecil yang berada di dalam ragaku tidak mau menyerah sama sekali.
"Aku ingin menjadikanmu temanku!" Jawabnya tegas, dalam hatiku.
Begitulah hatiku dipermainkan olehnya. Aku dan dia bisa berbincang menggunakan hati yang sama. Bahkan, dia dapat menggunakan mulutku untuk berbicara semaunya.
"Apa kamu akan keluar jika aku mau menjadi temanmu?" Tanyaku penasaran.
Lantunan-lantunan doa dan ayat suci masih terdengar olehku. Ragaku terasa panas, tapi juga dingin. Perpaduan dua rasa yang jelas berasal dari alam yang berbeda.
"Iya! Berjanjilah, maka aku akan keluar dari ragamu," gadis itu bernegosiasi denganku.