Mohon tunggu...
Firman Kaimun
Firman Kaimun Mohon Tunggu... -

Pemerhati pendidikan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Olimpiade Matematika di Gemerlapan Pemilu Kada

24 April 2010   22:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah di kota kecil bernama T tinggal seorang anak S. Pintar dan aktif. S selalu menempati tempat pertama di jajaran peringkat SMA tempat dia bersekolah. Seiring dengan bergemanya berita tersohor utusan Indonesia meraih posisi terbaik yang berlabel medali emas di olimpiade matematika internasional, S sangat berhasrat meraih prestasi yang sama. Gayung pun bersambut. S terpilih mewakili sekolahnya untuk mengikuti olimpiade Matematika di tingkat kabupaten. Betapa S sangat senang dan hasrat menjadi juara muncul kembali. S dihadiahi soal-soal olimpiade Matematika dari gurunya. Bekas soal tahun lalu. S mulai belajar. Wow...betapa sulitnya soal-soal itu. Tidak pernah diajarkan di sekolah. Tidak pernah sama sekali. Lari dari kurikulum. Lari dan hanya Tuhan yang mungkin tahu rahasia soal ini. Bagi S, ternyata soal olimpiade matematika ini seperti soal hidup dan mati, soalan yang sangat susah. S yang aktif berlari menuju gurunya. "Pak guru, bagaimana cara mengerjakan ini?". Pak guru melihat sejenak ke soal-soal itu. "Aduh nak, bapak juga tidak tahu, ini tidak diajarkan di kurikulum kita". S yang malang.... S lalu bertanya disana-sini. Celaka benar, di kota T tidak ada yang bisa. Tidak ada yang tahu. S lalu berburu di toko buku. Oh really? Toko buku di kota T hanya ada 2 toko. Dan sudah pasti, tidak buku mengenai olimpiade matematika disana. Sama sekali tiada. Tinggal dua bulan lagi, S harus menghadapi seleksi di tingkat kabupaten. S tidak mampu membayangkan bagaimana menyelesaikan soal-soal olimpiade yang rumit ini dan sama sekali tidak ada bantuan untuk itu. S lalu melirik teknologi internet. Teknologi yang satu ini memang sudah 2 bulan berada di kota T. S berkunjung ke warnet (hanya satu di kota T). Sayang sungguh sayang, warnet itu terlihat sepi, rupanya sudah tutup karena bangkrut, jaringan yang digunakan down tanpa say good bye. Tolonglah S... tolonglah S menggapai mimpinya.... Di sisi kota T, sedang berlangsung kampanye pemilihan bupati. "Saya sudah terbukti memajukan pendidikan di kota T yang kita cintai ini. Kemarin seluruh sekolah yang ada, siswanya saya bikin lulus semua" sebut sang calon bupati incumbent. Di sisi kota T yang lain "Saya putra daerah T ini, saya hasil didikan dan tempaan disini. Tapi saya akan melakukan perubahan di T, penerimaan pegawai akan lebih bersih dan lebih baik", sahut calon bupati dengan nama belakang yang hampir sama dengan nama kota T. Di bagian kota yang lain, agak ke pinggiran kota "Kesejahteraan dan kemakmuran, kebaikan dan keadilan, semuanya ada pada kami, pilih kami!" yel-yel tim kampanye calon bupati yang sangat benci dengan suku asli di kota T Di radio kota T (bukan RRI), "Pilih saya, beriman, bertakwa, dan ber.....". Cerita bohong sang calon bupati yang pernah tertangkap berjudi. Lalu, bagaimana dengan S ? Kasihan S ... Dan bagaimana kisah setelah pemilihan bupati di kota T selesai? Menurut anda akan bagaimana hasilnya ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun