Firman Firdaus adalah seorang pemuda yang lahir di Kawasan Segitiga Emas Jakarta Pusat, dekat dengan Hotel Indonesia. Dimasa remajanya ia tumbuh dewasa bukan di tempat asalnya, tapi di Kota Sukabumi Wilayah Selabintana. Kehidupan Perekonomiannya saat itu cukup baik dan berkecukupan. Bapaknya merupakan salah satu kepala di Samsat Jakarta Pusat. Hobinya di bidang otomotif baik motor maupun mobil dapat terpenuhi dengan kondisi tersebut. Kehidupan perekonomian dia menjadi terbalik pada saat ia sudah bekerja dan Kembali ke Jakarta. Perjalanan pekerjaan yang dia lakukan dari mulai ikut bekerja dengan bapaknya yang awalnya sangat membantu perekonomian dia yang mana dari hasil tersebut dia bisa membantu dirinya dan adik -- adiknya. Kondisi ini berubah 180 derajat Ketika sang bapak meninggal dunia.
Dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lainnya yang ternyata tidak bisa lama dan mencukupi dari keperluannya menjadikan sebuah cerita perjalanan dan penuh perjuangan dalam hidupnya. Ada secercah Cahaya pada saat keluarga tersebut menjual tanah warisan dari keluarga ibunya tapi ternyata itu hanyalah sebuah kebahagiaan sesaat bagi mereka. Perselisihan lah yang muncul sesama keluarga dengan tidak adilnya pembagian dari hasil penjualan tanah warisan tersebut.
Salah satu kesenangan Firman saat itu adalah permainan mesin yang menjadikannya berulang terpuruk secara finansial. Penyesalan seperti biasa berada di akhir cerita. Ketika di Jakarta dan sempat tinggal beberapa saat di Depok tidak menjadikan kondisi perekonomian Firman menjadi lebih baik. Pada akhirnya dia Kembali ke Sukabumi. Dengan uang seadanya dia menikahi orang Sukabumi dan tinggal di daerah Cisaat.
Keterpurukannya secara ekonomi di Jakarta ternyata berlanjut di Sukabumi. Pekerjaan yang tidak kunjung ia dapatkan dan tanggung jawabnya yang sekarang sudah memiliki keluarga makin memperberat beban kehidupannya. Hubungan dengan keluarga mertua pun menjadikan salah satu masalah di kesehariannya, karena dia tinggal bersama mertuanya. Hutang dari saudara hingga ke tetangga -- tetangga sudah menjadi hal yang biasa untuk menutupi keseharinnya. Pertengkaran dengan sang istri dan perselisihan dengan mertua menjadikan ia mengambil Keputusan pindah dan kos di tempat lain. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia belajar men -- service handphone di kosannya. Terkadang dia membuka lapak di pinggir jala di Tengah kota. Penghasilan 30 ribu -- 50 ribu sehari menjadi sesuatu yang sulit ia dapatnya. Seringkali ia tidak mendapatkan pelanggan dalam satu hari.
Dalam kondisi perekonomian seperti itu, istrinya hamil anak pertama. Makin besarlah beban yang ia tanggung Ketika istrinya mengalami pendarahan kehamilan dan puncaknya pada saat menjelang kelahiran sang bayi. Tidak ada uang, tidak ada kendaraan. Dia harus meminjam uang ke tetangga untuk menyewa angkot ke rumah sakit. Proses di rumah sakit pun menjadi cerita tersendiri karna Firman sama sekali tidak memiliki biaya untuk melahirkan. Tidak cukup sampai situ, setelah lahirnya sang bayi dengan selamat tuhan masih memberi dia cobaan dengan bayi nya harus dirawat di ruangan khusus karena mengalami kondisi kelainan pernafasan.
Ketika diberi sedikit harapan mendapatkan pekerjaan sebagai satpam dengan gaji yang relatif kecil membuat dia memiliki semangat yang baru untuk menata perekonomiannya. Sayang pekerjaan itu berjalan hanya sesaat. Membuka warung gorengan dan minuman saset dengan modal seadanya adalah Keputusan yang ia ambil untuk mempertahankan hidup dan modal yang sedikit itupun akhirnya habis tergerus untuk keperluan sehari -- hari. Tekanan dari sang istri, dari sang mertua dan kebutuhan sang bayi terasa sangat luar biasa bagi Firman. Belum lagi orang -- orang yang mengejar dia karna harus membayar hutang -- hutangnya.
Mencoba membuka jasa cuci motor dengan mempergunakan tempat orang lain dan fasilitas seadanya Firman berusaha bangkit dari satu hari dua pelanggan hingga dia memaksakan menerima dua puluh pelanggan hingga tangganya lecet dan terkelupas karna seringnya terkena air. Apa daya semua itu berakhir karna tempat dia usaha harus dikosongkan.
Deperesi adalah satu kata yang melekat dalam dirinya, putus asa adalah kata yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Hari demi hari masih tetap dengan kondisi yang sama, tidak ada kepastian untuk pekerjaan dan tidak ada kepastian penghasilan.
Ketika istrinya hamil anak kedua, kebahagiaan yang ia rasakan tergerus oleh rasa ketakutan dan kekhawatiran dengan kondisi yang sampai saat ini belum membaik. Kembali perjuangan saat kehamilan dan kelahiran anak pertama terulang, tetapi apapun kondisinya Firman tetap berusaha untuk menjalani itu semua.
Mencoba berjuang di Sukabumi ternyata tidak seperti yang ia harapkan. Depok menjadi pilihan Firman untuk mencoba berusaha mencari pekerjaan dengan meninggalkan anak dan istri di Sukabumi. Sayangnya kepindahan itupun Belum membawa perbaikan ke kehidupannya. Pendapatan hanya mencukupi untuk makan sehari -- hari dan mengirim uang untuk anak dan istrinya dengan seadanya. Saat rindu melihat buah hati hanya sepeda tua lah yang menemani perjalanan dia dari Depok ke Sukabumi, haus, lapar, dan lelah yang menemani perjalanan Firman menuju keluarganya di Sukabumi.