Mohon tunggu...
Kahtan
Kahtan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Terkadang kita perlu mundur selangkah untuk melompat jauh kedepan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pers Media Perjuangan Demokrasi

14 Oktober 2022   10:01 Diperbarui: 14 Oktober 2022   10:09 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usaha para pahlawan untuk menumbangkan kedudukan kolonial di Indonesia tidak hanya dengan bambu runcing, senapan, tetapi juga dengan mesin ketik. Tulisan-tulisannya juga beragam, karena dipengaruhi tujuan dan latar belakang yang berbeda namun dengan semangat yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui media masa baik dari perusahaan koran milik belanda hingga mencetak dari pabrik sendiri. Salah satu tokoh bangsa Mohammad Hatta tidak menulis mengenai politik ia lebih senang membawa para pembaca untuk ikut berpikir, mendidik dengan tulisan. Tan Malaka penulis buku Madilog seringkali mengamati para pekerja dan kuli perkebunan teh di Deli, dari sana ia menyadari penderitaan bangsanya sendiri dan akhirnya menulis melalui media masa salah satunya milik belanda Het Vrije Woord dan menulis tentang penderitaan para kuli di Sumatra Post. Buya Hamka salah satu ulama dengan beribu-ribu tulisannya yang inspiratif pernah menjadi seorang wartawan sebelum menjadi ketua MUI pertama. 

Para tokoh tersebut yakin bahwa menulis di koran mampu menjangkau pembaca lebih banyak yang secara langsung terdidik dan pada akhirnya kesadaran pun terbangun. Seorang warga negara memiliki hak untuk mendapatkan informasi, dengan peran pers pada masa itu sangat efektif memberikan informasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintahan belanda yang tidak adil kepada masyarakat. Berawal dari berita menolak perampasan tanah untuk pabrik gula, upah yang kecil dengan tuntutan kerja yang berat, hingga memberitakan pembentukan organisasi-organsisasi yang menjadi bibit awal pemikiran untuk melepaskan diri dari belanda. 

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia bukan berarti peran pers telah berakhir, justru peran pers menjadi sangat krusial demi menjaga kestabilan negara. Negara Indonesia menjunjung tinggi nilai demokrasi, semua kebijakan diambil untuk kepentingan rakyat. Ketika negara tidak melakukan dengan semestinya, maka peran pers adalah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai kepentingan bersama. Masyarakat menjadi tahu bahwa ada hal tersebut, melalui pers orang-orang bisa memberikan argumentasinya, memberikan kritik mereka sebagai bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.

Menurut Schumpeter seorang ahli politik jerman demokrasi dapat dipahami dari karakteristik strukturalnya. Demokrasi menggunakan tiga dimensi penting, yang pertama, kompetisi antara partai-partai memperebutkan posisi atau kekuasaan politik, kedua partisipasi rakyat dalam pemilihan partai dan wakil rakyat dalam pemilu. Ketiga, kebebasan masyarakat untuk berbicara atau mengekspresikan pikiran, menerbitkan gagasan atau berorganisasi. Hak-hak sipil berkaitan dengan kebebasan gerak individual dalam ruang masyarakat. Termasuk kebebasan berbicara, berpikir, berpendapat, memilih wakil rakyat dan sebagainya.

Peran pers jika dinilai dari tiga dimensi tersebut sebagai pengawas kinerja partai-partai politik yang mengikuti pemilihan umum, sebelum masyarakat memilih disuguhkan informasi atau berita sehingga rakyat mengetahui bagaimana calon-calon dari partai yang mengusung. Pers harus menjaga netralitasnya, tidak boleh berpihak pada partai apapun. Pers hanya berpihak pada rakyat, ketika yang terpilih menyelewengkan amanat maka kewajiban pers adalah berdiri bersama rakyat. Namun hal tersebut bukan perkara yang mudah, tidak sedikit media masa yang mendapati perlakuan yang tidak mengenakan, cacian, ancaman, pembredelan bahkan pembunuhan terhadap wartawan oleh pihak-pihak tertentu. Pada masa orde baru saat kepemimpinan presiden Soeharto, tidak sedikit media masa yang dibredel. Pada tahun 1974 setidaknya 14 koran di tutup paksa, media masa yang terkenal seperti kompas dan tempo pernah juga mengalami pembredelan ketika memberitakan kerusuhan yang terjadi pada masa pemilu pada tahun 1982 dan dipaksa meminta maaf kepada Soeharto agar dapat diberikan izin kembali. 

Namun demikian pers tidak boleh berhenti menjadi media penyambung suara rakyat, pers atau masa sekarang lebih dikenal media masa telah berkembang bahkan dalam bentuk digital. Penyebaran informasi menjadi lebih luas dan masif melewati ruang dan waktu. Justru pers harus mampu membawa manfaat kepada masyarakat jauh lebih baik dari masa sebelumnya, dengan tetap memegang teguh pendirian sebagai media yang netral tidak boleh terbawa arus oleh angin perpolitikan apapun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun