Sementara Prabowo Subianto, selaku ketua umum GERINDRA berpasangan dengan Hatta Radjasa yang juga ketua umum PAN, padahal sebelumnya partai Gerindra menolak keputusan PDI-P yang mengusung Jokowi disebabkan ada perjanjian "batu tulis" menurut beberapa sumber dari Gerindra maupun PDI.P yang beredar di media cetak dan elektronik saat itu.
Namun, penolakan Gerindra sebagai partai pengusung Jokowi-Ahok justru tak digubris oleh Jokowi, sekalipun secara politik yang diuntungkan adalah Gerindra manakala Jokowi mundur, karena Ahok merupakan kader dari Gerindra pada masa itu. Benar saja, ternyata popularitas Jokowi kian meningkat mendekati pilpres 2014, yang pada akhirnya Prabowo-Hatta harus mengakui keunggulan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pilpres yang dihelat 9 Juli 2014 lalu.
Skenario pun berlanjut, lantaran kemenangan Jokowi-JK tak beriringan dengan kemenangan partai koalisi di DPR yang terlebih dahulu dilaksanakan pada 9 April 2014. Prabowo bersama partai koalisinya saat itu bernama koalisi merah putih di DPR menetapkan UU Nomor 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat daerah.
Perlu diketahui pada pilpres 2014 ada beberapa tokoh yang disebut sebagai calon potensial (per awal tahun 2014) seperti; Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Djoko Santoso, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Almh. Ani Yudhoyono, Ibu Negara Indonesia 2004-2014, Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Indonesia, Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP DPR RI, Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan Indonesia, Rhoma Irama, musisi, Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Grup Bank Dunia, mantan Menteri SBY 2004-2010, Surya Paloh, pebisnis, pemilik media, dan ketua umum Partai Nasdem, Sutiyoso, mantan Gubernur Jakarta, sebelum akhirnya beberapa nama tersebut memutuskan tidak mencalonkan diri sebagai calon Presiden.
Melihat ramainya, calon potensial yang terjadi 2014 berujung pada calon kejutan seperti Jokowi, patut ditunggu juga akan kah 2024 memunculkan calon kejutan seperti halnya Jokowi yang mampu berakhir dengan kemenangan. Sebab, ramainya baliho belum tentu bisa menghantarkan seseorang duduk di kursi RI 1.
Beberapa lembaga survey pun sudah merilis nama-nama calon potensial untuk pilpres 2024 setidaknya ada beberapa nama yang selalu muncul yaitu, Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansah dengan latar belakang kepala daerah, kemudia, yang berlatar belakang partai politik seperti Prabowo Subianto, Sandiago Uno, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani.
Sementara, dari kalangan professional ada, Sri Mulyani, Erick Thohir, Gatot Nurmantyo, Tito Karnavian, dan Budi Gunawan. Nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat masuk daftar potensial, namun terganjal pernah narapidana kasus penistaan agama sebagaimana termaktub dalam  UU Nomor.7/2017 pasal 227 ayat (k).
Peluang Ganjar-Puan
Dari pemaparan diatas penulis melihat bahwa upaya pemasangan baliho yang dilakukan oleh Puan merupakan langkah untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas sehingga bisa mengulang pilpres 2019 calon presiden dan wakil presiden merupakan dari partai yang sama, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.Â
Sekalipun pada akhirnya Sandiaga Uno menyatakan keluar dari Gerindra agar bisa diterima oleh gabungan partai koalisi yang terdiri dari PKS, PAN, dan Demokrat pada detik-detik terakhir.
Bila, great popularitas dan elektabilitas Puan Maharani meningkat terus tidak menutup kemungkinan peluang koalisi Ganjar Pranowo dan Puan Maharani menjadi kenyataan pada gelaran pilpres 2024 mendatang.Â