tenis meja, bulu tangkis, hingga beladiri karate. Tak jarang dari berbagai olahraga tersebut penulis harus berhadapan dengan keinginan yang tak sampai diwujudkan menjadi atlet nasional.
Saat masih kanak-kanak tentu kita dihadapkan dengan berbagai aneka pilihan olahraga mulai dari sarana dan prasarana yang murah sampai dengan yang mahal. Begitu pun yang dirasakan oleh penulis, saat masih kanak-kanak sangat menikmati olah raga mulai dari sepak bola,Lantaran, orangtua tak mendukung keinginan menjadi atlet, bet untuk bermain tenis meja pun harus patah. Sejak saat itu, keinginan penulis menjadi atlet tenis meja sempat memudar.Â
Namun, benar kata pepatah mau dilarang bagaimanapun, bila sudah cinta pasti akan menemukan cara untuk mewujudkannya. Memasuki sekolah Madrasah Tsanawiyah yang mengharuskan tinggal di asrama membuat penulis mencari aktifitas dalam menyalurkan minat dan bakat guna mengembangkan potensi diri.
Benar saja, teringat akan tenis meja saat berjalan sore penulis tak sengaja melihat beberapa orang memainkannya hanya saja masih sekedar untuk hiburan sore dan mengisi waktu istirahat.Â
Bukan untuk menuju jenjang prestasi,sehingga motivasi penulis pun dalam bermain hanya sebatas mampu bersaing di level sekolah karena tak pernah menambah jam terbang dalam mengikuti event pertandingan di luar sekolah.Â
Tak, bisa mewujudkan tenis meja penulis tak berhenti untuk menyalurkan bakat dan minat dalam berolah raga. Ya, penulis akhirnya memantapkan diri untuk menjadi atlet melalui olahraga beladiri karate.
Orang tua pun ternyata mendukung, lingkungan pun mendukung membuat penulis keranjingan dalam berlatih, tak mengenal waktu pagi, siang, sore, hingga malam.Â
Ketika ada waktu luang pasti penulis sempatkan untuk berlatih. Terlebih, saat akan berlangsung event kejuaraan dengan beberapa pelatih yang sudah memiliki jam terbang semangat penulis semakin membara.Â
Namun, pertandingan tetaplah pertandingan, bila tak siap kalah jangan mencoba bertanding. Ya, dalam pertama kali turun kejuaraan seakan dibuat tak percaya, hasil dari pelatihan yang dijalani selama itu, seakan hilang, ternyata demam panggung pun mempengaruhi penulis yang pertama kali turun dalam kejuaraan.
Seiring berjalannya waktu penulis pun tetap menekuni olahraga beladiri karate, hingga porsi jam belajar dan latihan lebih banyak porsi jam latihan. Hingga akhirnya, penulis merasakan juara tingkat daerah Kabupaten dan Provinsi.Â
Namun, memang nasib yang diterima atlet dari sekolah yang belum terkenal prestasinya dengan yang sudah terkenal berbeda perlakuannya.Â
Tidak ada bonus dan apresiasi yang diterima ketika menjadi juara hanya selembar kertas dan piala. Saat itu, kembali berpikir ulang apakah memang atlet tidak pernah dihargai, dalam benak penulis.
Namun, penulis masih berkeyakinan bahwa harus jadi atlet nasional baru bisa merasakan manisnya perjuangan, penulis makin sering turun dalam berbagai event baik bersifat lokal hingga antar daerah untuk menambah jam terbang, tapi lagi-lagi ternyata yang dirasakan tetap sama.Â
Selama, tidak menjadi juara nasional maka selama itu pula hanya akan terkenal di level daerah dan tidak akan merasakan bonus yang besar sekalipun juara.
Sampai saat menyelesaikan bangku sekolah, ternyata catatan manis membawa nama baik sekolah terlupakan begitu saja ketika sudah tumbuh tunas-tunas baru.Â
Kemudian atlet-atlet pun mulai merasakan bonus sejahtera setelah sistem pengurus baik level kabupaten dan Provinsi mulai berbenah untuk mensejahterakan atletnya.Â
Karena, bila tidak akan banyak atlet yang mundur sebelum sampai tingkat nasional lantaran tidak mendapatkan apresiasi dari daerah dalam hal pembinaan dan materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H