Pilgub Jakarta memasuki putaran ke-2, pasangan calon mulai tancap gas dalam menarik simpati masyarakat, perang mental dan fisik di media sosial sudah memanas. Berbagai serangan dari banyak pihak sudah gencar dilempar menjadi topik dan isu. Dari yang humor hingga yang super kreatif. Black campaign juga mulai bermunculan, sejarah lama dan reputasi zaman dulu dari para kontestan mulai dibuka kembali.
Semuanya menunjukkan bahwasannya pertarungan pilgub jakarta 2017 ini berlangsung sangat seru dan panas, maka tak bisa dipungkiri bahwa Jakarta selalu menjadi perhatian dari para pengamat yang beranekaragam latar belakang disiplin keilmuan sampai dengan pimpinan partai dari pusat hingga daerah. Oleh karenanya kesempatan ini tak akan dilepaskan begitu saja, terlebih pemilu legislatif dan presiden akan terjadi di 2019.
Sehingga menjadi trend yang marak dirasakan oleh masyarakat kita saat moment pilkada berlangsung,bahwasannya fitnah dan teror selalu menimpa pasangan calon, kelompok pendukung, serta partai pengusung. Terlebih aksi saling lapor pelanggaran hukum terkait treck record pekerjaan dan kehidupan pribadi para kontestan.
Hal demikian bisa kita lihat bagaimana kontestasi di pemilihan gubernur jakarta yang sedang memasuki tahap putaran ke-2 ini. Sebelumnya pada putaran pertama, muncul 3 kandidat yang bertarung dalam pilgub yakni,No.1 Agus-Sylvy, No.2 Ahok-Jarot, No.3 Anies-Sandi. Dimana kita ketahui bersama bahwa Agus yang berlatar belakang mileter serta Sylvy yang merupakan birokrat mendapat dukungan dari partai demokrat, PPP, PAN, dan PKB, sedangan calon No.2 Ahok sempat dikabarkan akan maju melalui jalur independen namun berakhir dengan dukungan partai PDI-P,Golkar,Nasdem serta Hanura untuk berpasangan dengan Jarot. Kemudian Sandi yang mendaftar sebagai calon gubernur dalam penjaringan yang dilakukan oleh beberapa partai harus puas untuk menjadi wakil dari Anies yang merupakan eks-Mendikbud era Jokowi-JK.
Pilkada seyogyanya menjadi pertarungan politik antar partai dan pasangan calon satu dan lainnya dalam menarik simpati masyarakat untuk kemaslahatan suatu daerah dengan menunjukkan kinerja serta gagasan visioner jauh ke depan. Bukan justru menjadi pertarungan saling hujat dan menjelekkan partai satu dengan yang lain, calon satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, perlu kiranya masing-masing partai memberikan pemahaman politik yang baik bagi anggota dan kader serta para kandidat yang bertarung dalam pesta demokrasi sebagai perwakilan partai. Sehingga pada pilkada serentak tahap ke-3 yang berlangsung pada tahun 2018 kita sudah merasakan perbedaan dari pilkada sebelumnya.
Setiap pasangan calon yang menjadi peserta pesta demokrasi hanya memaparkan program dalam menyelesaikan permasalahan serta upaya dalam meningkat potensi yang dimiliki suatu daerah.
Hal itu pun dapat membantu penyelenggara (Red; KPU dan BAWASLU) sebagaimana termaktub dalam UU RI No.8 Tahun 2015 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati,dan walikota menjadi undang-undang pada Pasal 1 Poin 7 dan 10.
Untuk itu, setiap partai dan pasangan calon haruslah berupaya semaksimal mungkin dalam meraih kemenangan atas setiap pesta demokrasi yang diikuti melalui cara-cara yang sportif, sopan, santun, jujur,dan adil. Dengan demikian, pilkada jakarta harus benar-benar menjadi barometer bagi setiap politisi guna menjaga keutuhan NKRI dengan ideologi pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara.
Sebuah keniscayaan bahwasannya politik dan agama itu menyatu dalam aktifitas sehari-hari. sebab pengertian dari politik ialah upaya untuk mencapai sebuah tujuan demi kemaslahatan orang banyak melalui akal pemikiran manusia dalam menguraikan berbagai permasalahan. Sementara agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.