Kadang ketika kita terlalu fokus dalam satu masalah, kita akan melupakan masalah lain yang kadangkala lebih urgent untuk diselesaikan. Memang, manusia bukanlah makhluk yang sempurna, yang kemudian bisa menangani semua problem yang ditimpakannya. Mungkin ini adalah sebuah oto-kritik buat saya dan teman-teman mahasiswa lainnya. Mungkin ini pula hanyalah sebuah pemikiran yang sangat-sangat subjektif tergantung dari penilai dan apa yang dialami oleh penulis.
Ada satu hal yang sangat saya kagumi dalam suatu visi dari Perguruan tinggi. Ia adalah Tridharma Perguruan Tinggi. Ini adalah visi dari semua Perguruan Tinggi yang ditetapkan pemerintah dalam UU Pendidikan Tinggi. Isinya adalah pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan terakhir adalah pengabdian masyarakat. Dua poin pertama, mungkin sudah sangat sering dilakukan oleh setiap Perguruan Tinggi. Namun saya tertarik kepada poin ketiga yang tak terlalu diimplementasikan oleh kebanyakan mahasiswa.
Ternyata sebenarnya pemerintah sudah sangat intensmemerintahkan semua PT untuk  berorientasi juga pada pengabdian masyarakat. Namun mungkin pada implementasinya, mahasiswa di PT masa kini tak terlalu terlihat mengabdi pada masyarakat.
Saya ingin kembali pada kalimat pertama diatas. Disaat kita terlalu fokus dalam suatu hal, banyak hal lain yang terlupakan. Mahasiswa masa kini pun begitu. Sangat berfokus pada suatu hal yang kecil dan tak sesuai fungsinya, sehingga melupakan fungsi besarnya sebagai mahasiswa yakni salah satunya pengabdian masyarakat.
Kita ambil sebuah contoh yang acapkali terjadi. Kegiatan kampus, biasanya dikonotasikan sebagai kegiatan kepanitiaan. Banyak mahasiswa yang kemudian mengisi waktu luangnya menjadi seorang panitia. Menjadi panitia merupakan sebuah hal yang membanggakan dikalangan mahasiswa apalagi jika anda mendapatkan kepercayaan atau amanah lebih. Sejujurnya kepanitiaan ini sangat-sangat melatih anda. Ia melatih anda dalam me-managing semua hal, mengkonsep acara, kepemimpinan, dll. Ini yang membuat mahasiswa kemudian menjadi sangat tertarik.
Kepanitiaan juga dapat membuat kebanggaan tersendiri bagi pelakunya. Apalagi me-manej sebuah acara yang sangat besar. Yang acaranya turun-temurun dari angkatan senior bangkotan hingga diurus oleh Maba-maba emesh. Apalagi acaranya sudah punya branding yang ciamik. Anda pasti akan bangga menulis pengalaman itu di-CV anda. Anda juga pasti bangga menggantungkan co-card – co-card anda di kamar kost anda berkat ikut kepanitiaan itu. Yah, semua memaklumi itu. Saya pun demikian, pasti ada rasa bangga, buktinya saya sendiri juga mengoleksi co-cardsaya di kamar kontrakan saya.
Itu kalau dilihat dari segi pragmatis individualis. Coba lihat juga dari segi pragmatis kelompok. Acara-acara yang besar itu juga menjadi tolok-ukur kesuksesan sebuah organisasi. Bahkan kadang ada organisasi yang mem-branding dirinya dengan acara-acara besar itu. Yang jadi pertanyaan adalah, lha iki organisasi opo EO, dab ???
Masih soal acara, acara yang ditampilkan pun banyak yang terkesan terlalu elitis. Dalam artian, acara-acara ini banyak yang menampilkan sisi-sisi hedonisme, sekularisme, elitism, westernisme, dan masih banyak –isme-isme yang lainnya yang kesemuanya menjurus pada satu isme, yakni apatisme. Apakah mental mahasiswa sekarang sudah seperti itu ?? ingatkah kita pada pergerakan mahasiswa angkatan ’66 dan ’98 ??
Inilah yang disebut mahasiswa mental EO. Lihai dalam mengkonsep suatu acara, ciamik dalam kepemimpinan EO-nya, ahli dalam mencari dana hingga menjilati lubang-lubang anus si kapitalis, terjebak dalam kenikmatan duniawi, kenikmatan hedonis, kenikamatan apatisme, yang apatis terhadap lingkungannya, yang tak perhatikan lagi konsep Tridharma tadi.
Ingatkah kita pada mahasiswa angkatan ’66, angkatannya Soe Hok Gie si pejuang dari kalangan mahasiswa itu ? tak ada yang namanya kepanitiaan hura-hura, gelar acara pun tak pernah, paling hanya menggelar diskusi di kaki gunung. Seingat saya saat menonton film Gie,  satu-satunya acara yang digelar Gie pada saat itu adalah screening film, itu pun tentang pergerakan. Tak perlulah ia mengkonsep dari jauh-jauh hari, pun tak perlu ia mencari dana kesana-kemari, tak perlu pula ia menjilat ludah para korporat.
Atau bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa di zaman reformasi. Apakah mereka juga membuat acara-acara seperti itu. Yo ora lah dab, wong mangan wae angel kok. Susah memang, makan aja susah. Mereka punya musuh bersama, tak mungkin mereka bergerak sendirian, tak mungkin pula mereka menjadi pragmatis dengan membuat sebuah acara. Pun tak mungkin mereka membuat sebuah acara perlambang hedonis dan sekularis, wong mereka punya musuh bersama.
Harusnya kedua angkatan tadi bisa menjadi panutan kita. Panutan dalam hal pergerakan dan pengabdian pada masyarakat. Karena pada dasarnya ketika mengabdi kita juga harus bergerak, bukan malah menggelar acara hura-hura, pesta-pesta, yang melambangkan ke-apatis-an mahasiswa. Mahasiswa pasca reformasi sudah terlalu lama dininabobokan oleh penguasa, sehingga kehilangan daya kritisnya dalam mengkritik tajam penguasa. Mahasiswa sudah tak peduli lagi politik di pemerintahan, sehingga sudah tak tau lagi mana musuh bersama. Sehingga karena mungkin gabut,mereka gelar kepanitiaan yang memakan waktu lama dan hanya menghasilkan produk hura-hura.
Sebenarnya sebuah kepanitiaan yang ditugasi membuat acara yang bagus dan tak melupakan konsep Tridharma PT adalah sebuah hal yang mulia. Anda harus bayangkan, bagaimana panitia meluangkan waktu siang-malam bahkan hingga bolos kelas hanya untuk mendukung sebuah rangkaian acara.
Namun tetap acara yang ingin digelar haruslah sejalan dengan fungsi mahasiswa sebagai pengabdi. Janganlah ia menjadi ajang untuk hura-hura yang tak bermanfaat. Janganlah ia juga mengkhianati visi pengabdian masyarakat. Tugas si pengkonsep acaralah yang kemudian dapat merangkul ketiga visi tadi sehingga tak melupakan fungsi mahasiswa. Tugas si pengkonsep acara pulalah supaya menghilangkan citra elitis dan hedonis dari sebuah acara serta menyusupkan nilai-nilai pergerakan dan kerakyatan dalam acara tersebut.
Kita sebagai mahasiswa, sudah terlalu lama di-nina-bobokan oleh penguasa. Sehingga kita lupa pada musuh utama kita. Sehingga kita pun lupa fungsi kita sebagai seorang akademisi. Sehingga pula kita lupa terhadap visis misi yang diemban. Jangan sampai daya kritis kita terhadap penguasa berkurang. Jangan sampai seorang mahasiswa manapun bertindak apatis. Jangan sampai mahasiswa tak mengerti perpolitikan di atas sana sehingga dengan mudah di-nina-bobokan penguasa.
Ah, namun semua omong kosong. Pada akhirnya, mahasiswa juga mengikuti saja arus itu. Arus-arus yang diciptakan kaum borjuis, kaum fasis, dan kaum-kaum penjilatnya. Palingan,mahasiswa juga ikut-ikutan menjilat ludah mereka-mereka itu. Pantas saja, setelah lulus banyak mahasiswa yang lupa akan pengabdian masyarakat, eh malah mengabdi pada korporat. Cuma punya mental kacung, mental kerja-kerja-kerja, dan mental EO yang jago managing-nya. Ah, kok jadi terlalu pesimis ya????
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H