Dalam pesta pernikahan, yang mengukuhkan kedua mempelai sebagai raja dan ratu (meski hanya untuk sehari,) rendang harus ada atau senantiasa ada sebagai hidangan utama dalam menjamu tamu undangan.
Pada sesi makan bersama (bejamba gadang) dalam prosesi adat pengukuhan seorang datuk, rendang akan dihidangkan sebagai sajian utama dalam kuliner tiga warna: Kuning, merah dan hitam. Warna kuning direpresentasikan oleh gulai. Warna kuning merupakan simbol dari keagungan.
Warna kuning juga diartikan sebagai sifat dinamis, muda, atau sikap yang bersahabat. Hidangan kedua dalam bajamba gadamg berwarma merah yang direpresentasikan dengan sambal merah. Yang disambal biasanya ikan atau telur.
Warna merah menyimbolkan keberanian, pantang menyerah dan percaya diri. Hidangan ketiga, yang merupakan hidangan utama, adalah rendang hitam. Warna hitam mencerminkan sikap bijaksana, lentur dan abadi.
Pada diri rendang pun, yang terdiri dari daging, santan kelapa, cabai, merica dan aneka bumbu memiliki muatan filosofis yang merupakan realitas simbolis dari struktur masyarakat Minang. Daging melambangkan ninik mamak dan bundo kanduang yang akan memberikan kemakmuran pada anak dan kemenakan.
Kelapa (karambia) melambangkan cerdik pandai (kaum intelektual) yang berfungsi sebagai dinamisator dalam kelompok dan individu. Merica dan cabai merupakan simbol alim ulama yang gigih menegakkan syariat dan tegas menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.Â
etiga bahan utama pembuat rendang itu kemudian 'diikat' oleh bumbu yang terdiri dari rempah yang serbaneka. Bumbu ini melambangkan keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Rendang merupakan sebuah representasi local wisdom ataupun local genius dari masyarakat Minang dan masyarakat Melayu pada umumnya. Cipta, rasa dan karsa mereka tercurah dalam proses mengolah makanan dan menyajikan hidangan terutama rendang. Kuliner tidak sekedar budaya, gaya hidup ataupun penyambung hidup, tapi juga cerminan dari kerangka berfikir dan realitas simbolis dari masyarakat Minang itu sendiri.
Kejeniusan lokal ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa masakan Padang diterima baik oleh lidah masyakarat pada umumnya. Kalau bahasa Melayu disebut sebagai bahasa lingua franca masyarakat Nusantara, maka masakan Minang bisa dibilang sebagai lingua franca-nya di bidang kuliner. Begitu pula, bila dikatakan Nietsche berfilsafat dengan palu godam, mungkin orang Minang berfilsafat sambil memasak rendang..
Artikel ini terbit pertama kali di Halaman #Kedai_Nasi_Khas_Deli: https://web.facebook.com/EnakMurahBergizi/posts/116298946393011?__tn__=K-R