Mohon tunggu...
Yosmina Tapilatu
Yosmina Tapilatu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pemerhati masalah kelautan dan mikrobiologi laut.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menyoal Penanganan Pencemaran Minyak di Laut Timor

31 Agustus 2010   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawasan laut Indonesia yang tercemar tumpahan minyak dari kilang Montara diduga sudah mencapai 90.000 km persegi (1). Disebutkan pula bahwa skala tumpahannya jauh lebih besar daripada yang terjadi baru-baru ini di Teluk Meksiko (2), walaupun sebenarnya pernyataan ini masih harus diverifikasi ulang terutama dari faktor konversinya, mengingat tumpahan minyak di Teluk Meksiko berkisar antara 35.000 sampai 60.000 baril per hari (3),  sedangkan yang berasal dari ladang minyak Montara mencapai sekitar 500.000 liter, atau sekitar 3.145 baril per hari. Seperti yang bisa kita saksikan dan baca sendiri, bulan demi bulan setelah terjadinya ledakan ladang minyak milik British Petroleum (BP) Deepwater Horizon di Teluk Meksiko pada tanggal 20 April 2010 yang lalu, pemerintahan Obama di AS mendapat sorotan dari rakyatnya terkait dengan penanggulangan insiden tersebut. Sang presiden sendiri menjadikan penanganan tumpahan minyak ini sebagai prioritasnya, sampai-sampai kunjungan ke Indonesia pun ditunda. Berbagai upaya dilakukan, bahkan sampai menggunakan dispersan yang sebenarnya cukup berbahaya dan hanya memberikan efek visual bahwa pencemaran sudah berhasil diatasi, sementara minyak yang tenggelam akibat dispersan berpotensi menimbulkan masalah lingkungan yang baru. The National Oceanic and Atmospheric Administration atau NOAA memantau secara rutin jalur penyebaran minyak yang tumpah hingga empat bulan setelah terjadinya insiden tersebut, dan bahkan majalah ilmiah terkemuka Amerika Science dalam bagian Science Express yang dipublikasikan online pada tanggal 19 Agustus yang lalu di situs mereka, sudah menampilkan data pertama dari temuan para ilmuwan yang memantau apa yang disebut sebagai oil plume, atau campuran minyak dan air laut, yang ditemukan pada kolom air di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan laut. Apabila pemerintah AS sendiri terlihat begitu tegas dan cepat mengupayakan penanganan insiden ini secara menyeluruh, sebaliknya pemerintah kita terkesan lamban dalam bereaksi terhadap pencemaran laut Timor akibat tumpahan minyak dari kilang minyak Montara. Dalam jangka waktu empat bulan setelah terjadinya ledakan, keseriusan pemerintah AS ini ditandai dengan tekanan terhadap BP untuk pembiayaan operasi pembersihan kawasan yang tercemar, namun juga dengan mengerahkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk memantau dan menganalisa konsekwensi tumpahan minyak. Sedangkan tumpahan yang terjadi sejak setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009 di Celah Timor yang berbatasan dengan wilayah laut Indonesia ini, sampai sekarang belum jelas diketahui penanganannya. Terasa tidak ada tanggapan yang signifikan dari pemerintah terhadap keluhan masyarakat Rote Ndao. Kalaupun ada, cuma dapat dibaca pada situs berita online di internet, yang notabene merupakan media yang hanya bisa diakses oleh sekitar 20% dari masyarakat kita. Porsi pemberitaannya pun terkesan sangat minim. Dari survei sementara penulis, berita terbaru mengenai tindak lanjut penanganan kasus pencemaran yang sudah sampai ke laut Timor hanya menyinggung niat pemerintah untuk meminta ganti rugi sebesar Rp. 500 miliar kepada perusahaan operator kilang minyak Montara(4). Jumlah ini belakangan dinaikkan menjadi Rp. 22 triliun seperti yang terbaca pada layar TV One sekitar pertengahan minggu terakhir di bulan Agustus yang baru lalu. Tindak lanjut terutama berupa kajian secara komprehensif mengenai dampak lingkungannya, bahkan sama sekali tidak disebut, padahal justru hal inilah yang perlu mendapat perhatian serius, karena pertambahan luasan daerah cemaran yang cukup menguatirkan. Sejauh ini, dari informasi yang bisa diperoleh penulis, satu-satunya data yang ada sejak bulan September 2009 hanyalah data satelit dan sampel air. Data terakhir mengenai luasan area yang terkena sebaran minyak, pantauan pergerakan minyak di laut sebagai fungsi arus dan angin, jenis minyak yang tumpah dan proses weathering(5)-nya juga tidak tersedia. Estimasi jumlah organisme laut yang menjadi korban, misalnya, sampai sekarang sepertinya belum juga dilakukan. Padahal di samping menempelnya minyak mentah pada organ tubuh flora dan/atau fauna laut - seperti yang ditemukan pada rumput laut hasil budi daya di Rote- hidrokarbon juga beresiko mengakibatkan keracunan, mutasi gen dan bioakumulasi pada berbagai biota yang ada di kawasan yang tercemar. Satu pertanyaan pun mengemuka melihat kecenderungan ini: kenapa persoalan tumpahan minyak Montara tidak dapat menjadi prioritas pemerintah kita untuk ditangani, tidak saja dari segi ganti rugi ekonomi, tapi juga dari segi kajian terhadap biotop laut yang kadung menjadi korban akibat pengabaian ini? __________________________________________ (1) www.antara-sumbar.com, diakses tanggal 14 Juli 2010 (2) www.sinarharapan.co.id, tanggal 05 Mei 2010 (3) www.msnbc.msn.com, diakses tanggal 2 Juli 2010 (4) Koran Suara Pembaruan, 23 Juli 2010 (5) proses termodifikasinya komposisi minyak bumi akibat berbagai faktor fisika-kimia Kredit gambar : Chris Twomey/Kantor Senator Siewert (c)Yosmina Tapilatu. 310810

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun