Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Curhatan Terakhir Leo Tolstoy

11 Juli 2012   16:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:03 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_200020" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: Dokumen pribadi"][/caption]

“Pertanyaanku-yang pada usia 50 tahun menyeretku ke ambang bunuh diri-adalah pertanyaan-pertanyanyan paling sederhana, yang menggayuti jiwa setiap orang mulai dari anak-anak bodoh hingga orang dewasa paling bijak. Itu pertanyaan tanpa jawaban yang tak bias dijalani orang seperti yang kutemukan berdasarkan pengalaman. Pertanyaan itu adalah, “Apakah yang akan terjadi dari apa yang kulakukan hari ini atau besok? Apa yang akan terjadi dari seluruh hidupku?”

Diekspresikan secara berbeda, pertanyaan itu adalah, “Mengapa aku harus hidup, mengapa mengharapkan sesuatu atau melakukan sesuatu?” juga bisa diekspresikan begini, “Adakah makna dalam hidupku bahwa kematian tak terelakkan yang menungguku itu tak menghancurkan?”

Inilah kegelisahan tokoh “Aku” dalam novel A Cofession-nya Leo Tolstoy. Tokoh “Aku” merasa dalam usia yang hampir memasuki gerbang alam lain belum juga menemukan makna dirinya, kehidupannya dan yang paling pokok “mengapa ia berada di dunia dengan menjalankan serangkain pekerjaan kehidupan?

Wajarkah pertanyaan itu diajukan oleh seseorang? Apalagi diusia ke-50, yang konon merupakan usia yang memasuki kematangan dalam mereguk hakikat kehidupan? Seiriing putihnya rambut, bukankah sudah menjadi keharusan manusia untuk memutihkan dirinya? Bagi saya, kontemplasi dan kegilasahan ini merupakan hal yang wajar dan sangat penting. Siapa yang berani menjamin diusia pasca 45 tahun, seseorang sudah mahfum dengan lelaku kehidupannya? Bahkan , untuk saat ini, kita sering mendengar kata-kata “tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi-jadi atau kakek-kakek narcis” yang kesemuanya kata-kata itu merujuk ketidakselesainya masa pubertas kedua seseorang.

Memang ironi, jika semakin bertambahnya umur tetapi tidak dibarengi dengan merunduknya sikap dan ilmu seseorang. Sebagaimana padi, yang semakin tua semakin semakin merunduk dan jika ternyata tidak merunduk berarti padi itu hanyalah kopong alias gabuk. Lantas, apakah kegilasahan tokoh “aku” merupakan proses bernas kehidupannya? Alangkah baiknya jika pembaca menyigi kisah kehidupannya.

Tokoh “Aku” dibesarkan dalam lingkungan keyakinan Kristen Ortodok. Ajaran-ajaran Kristen ia terima mulai masa kecil dan remaja serta masa muda. Namun, ketika menginjak usia 18 tahun atau tahun kedua kuliahnya keyakinan itu ditinggalkannya. Apa sebab?

“Menilai berdasarkan memori tertentu, aku tak pernah benar-benar percaya, namun mengandalkan belaka pada apa yang telah diajarkan dan pada apa yang dinyatakan orang-orang dewasa di sekitarkaku. Dan kepercayaan itu sangat tak stabil.” Ternyata ajaran agama yang diterimanya belum begitu kuat merasuk dalam hatinya, tetapi seakana-akan keimanan dan ibadah yang dilakukan hanya sebatas ritualitas yang berulang-ulang tanpa arti. Keadaan ini ditambah dengan lingkungan dan masanya yang tak mendukung menjadi umat beragama yang baik. Bahkan orang yang taat agama dianggapnya sebagai lelucon saja.

Apakah tokoh “Aku” kehilangan keyakinan atau yang lebih jauh kehilangan Tuhan? Ternyata masih tersisa keyakinan yang dia sendiri tidak diketahui identitas yang dipercayai itu: “Aku tak mempercayai apa yang telah diajarkan padaku semasa kecil, tapi aku percaya pada sesuatu. Apa yang ku percayai tak bisa kukatakan sama sekali, aku percaya pada Tuhan atau aku tak mengingkari Tuhan, tapi tak bisa kukatakan apa itu Tuhan. Aku juga tak mengingkari Kristus dan ajarannya, tapi apa dan bagaimana yang diajarkannya, aku juga tak bisa mengatakannya.”

Meski tokoh “Aku” sukses menjadi penulis yang disegani namun dirinya juga dihimpit krisis yang menyeretnya untuk bunuh diri. Depresi berat ini tampaknya berasal dari ekses masa mudanya yang suka mabuk-mabukan. Ia adalah pendusta, pencuri, penjudi berat dan petualang wanita.

“Aku tak bisa mimikirkan tahun-tahun itu tanpa kengerian, perasaan muak sekaligus kepilaun. Aku telah membunuh banyak lelaki dalam perang dan menantang berduel banyak lelaku untuk membunuh mereka. Aku kalah dalam permainan kartu, memeras tenaga para petani, menjatuhkan mereka ke dalam hukuman, hidup bebas dan menipu orang-orang. Aku menipu, merampok, berzianah, mabuk-mabukan, membunuh dan lainnya-tak ada kejahatan yang tak kulakukan. Terhadap semua itu, orang-orang memuji perilakuku, dan mereka sezamanku dianggap dan menganggapku sebagai orang yang termasuk bermoral.”

Kata-kata terakhir dari pengakuan tersebut menandaskan bahwa zamannya, lingkungannya tidak mendukung dirinya menemukan kebaikan atau rasa humanis. Justru sebaliknya, kebiadaban, pelencengan perilaku seorang tentara dianggap hal lumrah dan pahlawan yang perlu disanjung. Jelaga hitam ini kemudian hari membawa dirinya depresi, rasa sesal yang begitu mendalam dan menyeretnya meragukan tentang kehidupannya. Lantas kemana dia mencari jawabannya?

Tokoh “Aku” kemudian bergelut dengan membaca buku-buku filsafat yang membawanya bersinggungan dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani Klasik hingga karya Kant dan Schopenhauer. Dua filsuf inilah setidaknya sedikit menyejukkan kegersangan jiwanya: eksistensi Tuhan tak bisa dibuktikan oleh Tuhan. Begitu pula, dia menyimpulkan bahwa rasional tak memberikan makna kehidupan. Bunuh diri yang terus datang mengajaknya begitu hebat, toh juga tak bisa mengajak dirinya untuk melakukannya. Sebaliknya, dia mulai mempertimbangkan soal iman yang dianut oleh petani Rusia. Hingga akhirnya dia menyimpulkan tanpa iman manusia tidak dapat hidup. Iman yang mendalamlah yang mampu menyelamatkan kehidupan yang hampir saja berantakan diujung waktunya.

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman tokoh “Aku” dalam mencari dan memahami kehidupannya adalah upaya pendewasaan diri. Mengingat saat ini, zaman yang banyak menyodorkan gemerlap dunia dan tak sedikit menyeret manusia pada kealpaan untuk selalu bertanya dan memahami tentang sangkan paraning dumadi.

Judul:A Confession, Sebuah Pengakuan

Judul Asli:A Confession

Penulis:Leo Tolstoy

Penerjemah:Ermelinda

Penerbit:Selasar Surabaya

Tahun terbit:Cetakan I, September 2010

Tebal:xii+128 halaman

ISBN:978-979-25-9405-8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun