Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibumu Adalah Qur’an Bubrahmu

5 April 2012   05:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:01 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333604099717373174

Judulnya agak sedikit menggelitik, dan mungkin membuat sebagian pembaca agak sedikit terganggu dengan kata “Qur’an Bubrah”. Bagaimanapun juga, orang biasanya tidak akan menerima jika kitab sucinya dijelek-jelekan, atau setidaknya diungkapkan dengan kata-kata yang konotatif. Tetapi, pembaca tidak perlu terpancing dengan kata “Qur’an Bubrah”. Ini bukan pembosbasitisan sebuah judul atau sengaja menghadirkan rasa penasaran melainkan memang ada makna dalam kata Qur’an bubrah.

Kata “bubrah” memang bersinonim dengan “rusak”, berserakan. Qur’an bubrah berarti lembaran-lembarannya sudah tidak teratur, susunan suratnya mungkin saja sudah kocar-kacir. Jika pembaca pernah ke langgar (surau) di desa-desa setidaknya akan tahu Qur’an bubrah itu. ketidakteraturan mushaf-mushaf ini bukan sebuah kesengajaan dari qiro’ah melainkan memang termakan oleh usia. Namun dari sini, dari Qur’an bubrah  kita menemukan kearifan bagaimana perlakuan para qiro’ah terhadapnya. Meski sudah tidak teratur tetapi sikap hormat terhadap kitab suci terus terjaga, kitab itu aka di taruh pada tempat selayaknya bukan sembarang menaruhnya.

Dari sini, kita akan menemukan pengertian kedua “Qur’an bubrah”. Pengertian itu tidak lain adalah sebuah simbol untuk menggambarkan tentang kondisi orang tua yang sudah lanjut usia. Orang tua yang sudah lanjut usia sedikit-banyak pasti mengalami penurunan koordinasi antar panca indra, ingatan, dan kestabilan emosinya. Bahkan seseorang yang berusia lanjut kadang-kadang mengalami perubahan perilaku dan emosi hingga menjelma seperti saat dia masih balita.

Lalu apa hubungannya pengertian Qu’an bubrah yang pertama dan kedua? Menurut penulis buku ini,Suparyakir, ternyata memiliki persamaan dalam tataran hakikat. Mushaf Al-Qur’an yang berada dalam kondisi tidak beraraturan tata urutan ayat dan surahnya tentu saja sulit untuk dijadikan sebagai sebuah guiding line atau petunjuk bagi mereka yang mencarinya.

Demikian pula halnya dengan seseorang yang telah lanjut usia. Ketika semua koordinasi antar anggota tubuh sudah semakin menurun, ketika panca indra sudah semakin jauh berkurang keakuratannya, ketika metabolisme tubuh sudah mulai menunjukkan ketidakberesan, maka di saat itulah tubuh dan jati diri seseorang laksana Qur’an bubrah. Orang yang telah lanjut usia, apalagi tubuhnya sudah digerogoti penyakit yang sudah sedemikian jauh mempengaruhi organ-organ tubuhnya, maka tindakan dan ucapannya seringkali berubah-ubah dan tidak dapat diterka.

Kondisi orang tua yang sudah “ardali ‘umri” ini menjadi ujian, pembuktian sikap bakti (birrul walidain) seorang anak. Apakah anak memang benar-benar memiliki sikap bakti terhadap orang tua ataukah sang anak hanya akan menyia-nyiakannya. Sebab, merawat orang tua yang telah uzur tidaklah semudah merawat orang tua yang masih sehat bugar, masih normal sistem organ-organ tubuhnya. Apalagi, jika anak sudah berkeluarga tentunya akan lebih repot membagi waktu untuk merawat ibunya dan keluarganya sendiri (baca: suami/istrinya dan anak-anaknya). tak jarang kita dengar, di zaman sekarang ini, banyak anak yang tega menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Kondisi ini seakan-akan menjadi bukti kata-kata “kasih orang tua sepanjang masa, kasih anak hanya sepanjang galah” atau “ wong tua sugih anak dai ratu, tapi anak sugih wong tuwo dadi babu”. Perlukah hal ini terjadi?

Sikap itu tidak perlu terjadi jika kita mampu mencercap makna Qur’an Bubrah. Orang tua yang telah lanjut usia memiliki padanan dengan Qur’an bubrah, “nek diwaca ora turut, nek dilanggar malati” (kalau dibaca tidak akan runtut, tetapi bila dilanggar akan berakibat fatal. Demikian pula orang tua yang sudah lanjut usia, “sulit diterka kehendaknya, tetapi bila keliru memperlakukannya maka akan marah sejadi-jadinya”.

Buku kecil ini merupakan ejawantah pengalaman penulis sendiri tentang suka duka merawat ibunya yang sudah lanjut usia yang secara fisik dan psikologisnya mengalami masa “pengembalian” ke masa kanak-kanak. Di tengah kesibukannya sebagai kepala keluarga, karyawan perusahaan, penulis harus sabar berbagi waktu untuk merawat ibunya, mencuci bajunya. Tak jarang dia mendapatkan balasan kemarahan dari sang ibu, sudah bisa dipastikan sebetulnya ada sikap dongkol di hati. Namun, di sinilah tantangan, bukti kedewasaan, sikap bakti, hormat kepada seorang ibu ditunjukkan.

Judul                      : Qur’an Bubrah, Kisah Nyata Pengalaman Mendampingi LANSIA Hingga Ajal

Penulis                   : Suparyakir

Penerbit                  : Kreasi Wacana Yogyakarta

Tahun terbit           : cetakan pertama, September 2011

Tebal                      : viii + 124 halaman

ISBN                     : 978-602-9020-22-9

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun