Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi Model Learning Cycle 5 Phase

26 Februari 2012   18:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:01 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana seorang guru menempatkan posisi siswa dalam kegiatan belajar-mengajar? Apakah siswa dipandang hanya sebagai gelas kosong yang perlu diisi oleh seorang guru yang posisinya sebagai “ceret”? Lantas, apakah guru menikmati posisi sebagai “ceret” dan bangga dengan para siswa yang memasuki ruang kelas sekedar “setor kuping”? ataukah guru memandang para siswa mirip transistor-transistor yang mempunyai daya tangkap pada frekuensi tertentu, sehingga perannya hanya sebagai fasilitator penerus gelombang dan mempersilahkan para siswa menangkap gelombang sesuai kapasitasnya?

Sebagain ada yang memilih enak menjadi “ceret” sebab memang begitulah peran guru adalah sebagai empu yang duduk di menara gading dan mempunyai hak untuk memberi atau tidak memberi pengetahuan kepada para siswa. Siswa sekedar gelas kosong yang setiap hari memasrahkan dirinya untuk diisi air pengetahuan oleh sang guru. Imbasnya adalah siswa menjadi pasif, menjadi manusia “penunggu” dan celakanya jika sang guru tidak hadir maka siswa hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu: kelabakan bagaikan anak ayam yang ditinggal induknya dan senang karena gurunya tidak hadir, sebab kehadiran sang guru sungguh tidak diharapkan.

Sebagaian lagi, memandang siswa adalah makhluk yang mempunyai kesempatan yang sama untuk menangkap pengetahuan, meski frekuensi, kualitas dan kuantitas antara siswa satu dengan yang lainnya jelas berbeda. Sehingga tugas guru adalah menyediakan dan mendorong siswanya untuk mengoptimalkan potensi dirinya dalam menyerap pengetahuan. Dari sini fungsi guru tidak lain adalah fasilitator dan mediator.

Gagasan yang menekankan bahwa siswa bukan sekedar gelas kosong, melainkan pribadi-pribadi yang mempunyai andil terbesar dalam mengkonstruk pengetahuan yang dan nantinya akan dimiliki sering dinisbahkan pada Piaget. Gagasan Piaget dalam dunia pendidikan dikenal dengan konstruktivisme. Piaget (1971) sendiri menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya.

Hal yang ditekankan dari teori konstruktivisme dalam prose belajar mengajar siswalah yang harus mendapat titik tekan. Siswalah yang dituntut aktif untuk mencari, menggali, meramu dan menyajikan pengetahuan tersebut. Sehingga siswalah yang bertanggungjawab atas hasil usahanya. Kretivitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan kelak setelah lulus. Tujuan teori ini tidak lain aalah membantu siswa untuk menjadi pribadi kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir bukan meniru saja.

Jika diamati, apabila teori ini dimplementasikan dalam dunia pendidikan sehari-hari, maka guru tidak mempunyai hak untuk menghakimi siswanya dengan memberikan cap “pintar-bodoh”. Sebab, setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menangkap materi yang disajikan sang guru. Jika boleh diibaratkan, peran guru tidak lain mirip sang gembala yang sedang menggembalakan ternaknya, tugas sang gembala adalah menncarikan rumput yang rimbun nan hijau. Sang gembala tidak perlu menyuapin ternaknya, hanya, supaya kenyang. Kenyang-tidak kenyang adalah urusan ternak itu sendiri. tugas sampingannya adalah mengawasi ternak-ternak agar tidak terjerembab pada lumpur atau terjatuh ke dalam jurang.

Kelihatannya teori kontruktivisme memang menawarkan jalan terbaik untuk memperbaiki kualitas kecakapan siswa. Namun, bagaimana untuk mengejawantahkan teori tersebut dalam kehidupan nyata di sekolah? Bukankah gagasan itu lebih mudah dari pada pengamalannya? Apalagi jika teori tersebut hendak diterapkan pada tingkatan SMK Jurusan Kimia Analisis, yang notabenenya campur tangan guru masih diperlukan. Apakah guru dapat “seenaknya” membiarkan para siswanya mengobok-obok ruang praktikum hanya dengan alasan peran guru hanyalah fasilitator semata. Bagaimana upaya menjembatani antara dua permasalahan tersebut?

Saudara Muhammad Najib .A (Hayyan Khun) dengan lugu dan bekerja keras berupaya membuat jembatan (bridge) tersebut. Jembatan yang dibangun dia tuangkan dalam bentuk modul yang sederhana tetapi berbobot. Dengan mengacu pada landasan teori kontruktivisme, Najib mencoba membuat penyangga-penyangga jembatan tersebut dari model belajar “Learning Cycle 5 Phase”.

Modul yang dibuat khusus untuk SMK Jurusan Analisa Kimia dengan pokok bahasan kromatografi ini menawarkan kegiatan belajar yang mencangkup lima tahapan. Tahapan-tahapan tersebut, yaitu:

Pertama, Engagement (pembangkitan minat). untuk tahap ini siswa dibimbing untuk membangkitkan dan mengembangkan minat terhadap topik pelajaran melalui pemberian apersepsi atau pengantar kepada siswa.

Kedua, Exploration (eksplorasi). Tahap ini siswa belajar tanpa bimbingan langsung dari guru. Guru berperan untuk mendorong siswa agar memberikan hipotesis atas materi yang telah dipelajari. Tujuannya adalah mengecek sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi.

Ketiga, Explanation (penjelasan). Tujuan tahap ini adalah untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mengembangkan konsep yang telah ada pada siswa dengan kata-kata mereka sendiri. peran guru sebagai mediator untuk mengklarifikasi konsep yang bisa jadi salah dimengerti oleh para siswa.

Keempat, Elaborasi (Elaborasi). Tahap ini, siswa menerapkan konsep dan ketrampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru atau konteks yang berbeda. Dengan demikian siswa akan dapat belajar secara bermakna, karena telah mampu menerapkan konsep yang telah mereka kuasai.

Kelima, Evaluation (Evaluasi). Merupakan tahap terakhir, guru mengamati pengetahuan atau pemahaman siswa dalam menerapkan konsep yang telah dipelajari. Di dalam fase ini berisi kesimpulan dari kegiatan pembelajaran sebelumnya.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari modul ini adalah kelima tahapan tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling berkaitan, yang ditata, pinjam bahasanya Paul Davies, secara kontingen. Dengan begitu, antara guru dan siswa masih memiliki keterkaitan, keduanya tidak dapat dipisahkan atau membiarkan perannya salah satu dari keduanya bekerja sendiri.

Judul: Modul Analisis Kimia Model Learning Cycle 5 Phase Materi Pokok Kromatografi

Penulis:Muhammad Najib A

Terbit: Modul ini tidak atau belum diterbitkan sebab karya ini merupakan produk pengembangan dari tugas akhir kuliah (skripsi) penulis (M. Najib. A) sebagai Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Peresensi

Khoirul Anwar

kaha.anwar@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun