Perempuan memang menarik untuk dikaji, diperbincangkan di mana pun tempatnya dan dalam kondisi apapun. Mulai orang awam sampai yang “ahli perempuan” pun turut berbicara. Namun, siapakah perempuan itu? Bagaimana kedudukannya di masyarakat? Bagaimana pula dalam pandangan agama dan kaum beragama khususnya kaum lelakinya?
Berbicara perempuan dalam kacamata alangkah nikmatnya kalau merujuk dunia pesantren atau orang-orang yang bergelut di dalamnya. Meski ini kelihatan naif dan menganggap peran masyarakat di luar pesantren tidak punya hak tafsir atas perempuan, namun kebanyakan pesantren dengan sang tokohnya banyak menjadi rujukan dalam permasalahan kehidupan masyarakat. Mulai dari urusan rumah tangga, perekonomian sampai hal ihwal politik, pesantren masih menjadi pen’sohih’ maksud dan tujuan seseorang. Begitu pula dengan kedudukan perempuan dalam kehidupan berbangsa ini. Masih ingat dibenak kita saat menjelang pemilihan umum kemarin? Atau saat partainya Megawati memenangi pemilu pada tahun 1999? Meski Bu Mega beserta partainya menang di pemilu tersebut namun kenyataannya beliau tidak maju sebagai presiden. Bahkan beramai-ramai lawan politiknya mencoba mencari dalil untuk membenarkan: perempuan tidak pantas dan mampu memegang tampuk kekuasaan.
“Tidak akan pernah sukses yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita”, begitu inti hadits yang sering dikutip. Benarkah demikian halnya? Bagaimana pandangan tokoh pesantren mengenai hadist ini dan kedudukan perempuan dalam bidang-bidang yang lain? buku ini mengusung pendapat dua tokoh pesantren, yang kedudukannya di Tanah Air di hormati. Gus Dur dan Gus Miek merupakan tokoh yang tidak asing lagi bagi masyarakat Islam Indonesia, lebih-lebih kalangan NU. Gus Dur, Kyai yang pernah menjabat Presiden, sedangkan Gus Miek adalah tokoh pendiri Jama’ah Jantiko Mantab sekaligus kyai yang cara berdakwahnya dinilai nyentrik karena tak segan-segan masuk-keluar dunia “remang-remang”.
Pandangan Gus Dur, hadist ini seharusnya dilihat konteksnya bukan digeneralisir terhadap semua bangsa. Pada dasarnya, sukses atau tidaknya kepemimpinan perempuan bukanlah karena kemampuan perempuan ‘separo’ laki-laki, melainkan bergantung penerimaan mayoritas laki-laki dalam kepemimpinannya itu.
Perempuan sebagai ibu, bagi Gus Miek, merupakan roda penggerak perjuangan. Seorang ibu bisa mempengaruhi dan mengarahkan anak-anaknya, dengan bahasa mereka sendiri, untuk ikut serta menerima apa yang Gus Miek ajarkan. Sedangkan Gus Dur, pada masa awal perjuangannya dalam NU mendapat dukungan luar biasa dari ibu yang memiliki kewibawaan cukup tinggi di mata para tokoh. Gus Dur, bahkan, berani mengabaikan perintah Kiai Bisri Samsuri meskipun telah diulang tiga kali dalam tiga kali kesempatan. Tetapi sekali Nyai Solihah memerintahkan Gus Dur untuk mengikutinya, tak ada yang bisa dilakukan Gus Dur kecuali menurutinya. Sementara Gus Miek, saking takutnya pada ibu (karena pilihan perjuangan yang berbeda dengan keinginan ibunya untuk menjadi kiai pesantren) disaat sakit menjelang ajal, tidak berani kembali ke kampung halamannya sebelum meninggal.
Perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk menentukan dan memperjuangkan nasib kehambaannya di hadapan Allah tanpa harus menunggu campur tangan suaminya. Perempuan tetap harus memperjuangkan nasib kehambaannya meskipun suaminya merupakan bagian dari orang-orang yang menentang, menghalangi, atau acuh tak acuh saja. sebab, hidayah atau kesadaran untuk menerima ajaran, selamanya bersifat mandiri dan privasi, begitu pandangan Gus Miek soal perempuan dalam wilayah spiritual.
Peran dan posisi perjuangan perempuan, dalam pandangan Gus Miek dan Gus Dur, adalah bersifat menyeluruh, sederhana namun kompleks. Menyeluruh karena semua perempuan dapat memainkan peran dan posisi perjuangan masing-masing, sesuai dengan posisi dan batas kemampuan. Apakah perempuan itu sebagai ibu, sebagai istri, tokoh, artis, pengusaha, semua bisa memainkan perannya dalam perjuangan. Dikatakan “sederhana” karena peran dan posisi perjuangan ini dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, teman sepergaulan, setahap demi setahap sehingga mencapai lingkaran perjuangan yang lebih luas. Dan dikatakan “kompleks” karena peran dan posisi perjuangan yang semakin ini tetap harus mengadopsi wilayah bawahnya, yakni diri sendiri, rumah tangga, dan seterusnya, sehingga meskipun perempuan telah memainkan peran dan posisi tinggi dalam perjuangan, ia tetap harus melakukan peran dan posisinya pada diri sendiri, rumah tangga dan seterusnya sampai ke atas.
Buku ini selayaknya mendapat apresiasi karena isinya mengungkapkan pandangan dua tokoh besar yang mungkin saja dikenal hanya berkecimpung dan mengurusi dunia “laki-laki”. Selain itu, beberapa pandangan dua tokoh ini belum familiar di kalangan masyarakat luas, apalagi gaya berdakwahnya Gus Miek, sehingga kehadiran buku ini setidaknya menjadi hasanah tambahan dalam memposisikan perempuan baik dalam tataran kehidupan berbangsa maupun beragama.
Judul:Kekuatan Perempuan Dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek
Penulis:M.N. Ibad
Penerbit:LkiS Yogyakarta
Tahun Terbit:tanpa bulan,2011
Tebal:180 halaman: 12 X 18 cm
Khoirul Anwar
Muride Sunan Kalijaga
kaha.anwar@gmail.com
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H