Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akulah Izro’il

29 November 2011   02:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:04 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akulah Izro’il, malaikat pencabut nyawa. Akulah malaikat yang setiap detiknya berkelana mengelilingi buana untuk menyampaikan pesan Tuhan. Aku suka dengan tugasku, tugas yang mengasyikkan sekaligus menakutkan. Ya asyik untuk diriku sebab akulah kepercayaan Tuhan untuk mengambil nyawa siapapun dan apapun. Menakutkan bagi siapa dan apa yang aku hampiri. Takut sebab putus dari kenikmatan-kenikmatan yang selama ini diraihnya.

Akulah Izro’il, malaikat pengelana alam semesta. Mencari jatah yang sudah tiba waktunya bertemu Tuhan. kadang aku merasa aneh dengan jemputanku, ada yang menghindar, lari ketakutan, ndelik dibalik ketakutannya. Kalau sudah begini aku hanya tertawa geli melihatnya: sampai kemana kamu bisa bersembunyi dariku? Ndeliko neng leng-lengane semut tetep tak oyak, mlayuo tekan pucuke langit tetap tak cekel! Kadang ada pula yang waktunya belum untuk bertemu Tuhan, ee..malah nekat ingin ketemu, kalau sudah begini ya repotlah.

Akulah Izro’il, malaikat yang sering diceritakan sebagai malaikat yang menyeramkan. Sayapku memenuhi luasnya langit, dan tujuh bumi tak sanggup mewadihi diriku. Seumpama air lautan ditambah dengan air sungai yang ada di dunia ini, takkan sanggup air itu menetes dari rambutku. Meski setetes embun seperti dari dedaunan di pagi hari. Akulah Iz’roil, malaikat yang sering diimajinasikan dengan pakaian hitam, membawa pedang pencabut nyawa, muka hitam tak kelihatan dan tertutup jubah. Kalau sudah begini aku tertawa, dasar manusia ada-ada saja. padahal aku tidak membawa apa-apa, bukan kapak, bukan pisau, bukan cambuk. Aku tak membawa apa-apa hanya untuk mencabut nyawa, tak perlu kekerasan. Meski proses mati itu bermacam-macam.

Akulah Izro’il, malaikat yang menghampiri dan membawa maut dari siapa saja. membawa maut dari setiap yang menarik nafas dan menghembuskannya. Aku selalu mengawasi keluar masuk udara dari hidung tiap makhluk. Aku selalu siap menjemput nyawa jika sudah ada sinyal kematian darinya, dari warna hembusan nafas. Mungkin yang tidak diketahui oleh semua orang adalah jika aku ini lebih kecil dari maut. Sebetulnya aku tak sanggup membawa maut, tak kuat menatap mata maut. Siapa saja menatap maut bisa terjungkal pingsan selama beribu-ribu tahun. Hanya karena aku telah diberi izin dan kuasa maka maut pun tunduk dihadapanku, terasa ringan di tangan ini.

Akulah Izro’il, malaikat yang menghampiri dan mengetuk siapa saja. mengetuk para nabi, para rosul, raja, presiden dengan pengawal yang ketat dan kecanggihan teknologi sekalipun. Akulah Izroil, malaikat yang mengetuk rumah-rumah orang miskin, menyelimuti mereka yang klereran di tengah jalan, menghampiri mereka yang diacuhkan sesamanya. Menyelami setiap tangan anak manusia.

Akulah Izro’il, malaikat yang suka berjalan diantara pepohonan, jika ada angin mendesir keras: itulah aku; kalau ada kilatan api: itulah aku; jika ada kilatan pedang, desingan peluru: itulah aku. Meski aku tidak selalu berjalan di atas desingan peluru, kilatan api, sabetan pedang, gegernya alam raya. Aku bebas memilih jalanku, banyak jalan untuk aku lalui dan tidak harus menyeramkan. Sekali lagi, terserah aku. Jangan mudah menganggap ku selalu berjalan linier, hanya lewat yang kelihatan dekat dengan kematian. Aku bisa menyusup pada makanan, minuman, belain kekasih, empuknya kasur tidur. Bahkan mimpi pun aku susupi menjadi pengejawantahan diriku. Aku bisa lewat saja untuk menghampiri maut.

Akulah Izro’il, yang pada suatu hari menghampiri anak-anak kecil lagi asyik mengail ikan di kali. Lama tak kunjung dapat, aku menyusup pada riak air dan : brag ka da brag, aku jadikan batu menjadi ikan kembung. Kasihan aku melihat anak-anak itu, seharian tak satu ikan pun didapat. Padahal mereka igin sekali menikmati ikan bakar, sedangkan kali, sungai-sungai telah habis ikannya. Ikan-ikan mati tapi bukan aku yang menghampiri, bukan aku yang menyebabkan ikan mati. Aku mohon jangan tuduh diriku yang merenggut ikan-ikan itu. Sungguh aku tidak melakukannya.

“Horeeeee...”, anak itu teriak kegirangan, berhasil menangkap ikan. Dikiranya ikan kembung itu makan umpannya. Padahal aku lah yang menaruh di mata pancingnya. Akulah yang mengikat erat-erat ikan itu agar tidak terbawa arus. Tapi, biarlah toh aku juga senang melihat anak itu kegirangan meski tidak tahu siapa yang mengaitkan ikan itu di mata kailnya. Biarlah anak-anak itu riang gembira dan semakin percaya kalau sungai-sungai itu memang tempat mengasyikkan untuk memancing, siapa tahu besok-besok mereka mau merawat sungai-sungai yang membelah indah kotanya itu.

Setelah puas menatap senyum riang anak-anak, aku putuskan segera untuk pergi. Glebeeeer...sewaktu terbang masih setinggi pohon bambu, aku mendengar teriakan bapak-bapak. Aku tak jadi pergi. Aku putuskan untuk mengintip pembicaraannya. Aku berdiam di atas pucuk bambu, sambil menatap ke bawah, mengamati apa yang terajadi.

“Jangan diambil, itu bukan ikan!” cegah bapak-bapak. “tidak mungkin ada ikan di sungai yan keruh ini, selama berahari-hari aku mancing di sini tak satu ikanpun aku dapat. Kalaupun ada pasti ikan ini beracun. Ikan siluman, jangan kamu ambil. Ikan-ikan ini yang menyebabkan si Romly mati. Tubuhnya kejang-kejang, mukanya membiru dan mulutnya berbusa. Jangan diambil, ikan ini jelmaan Izroi’il, si pencabut nyawa”.

Aku sudah menduga kalu tuduhan ihwal kematian selalu mengarah padaku. Sedih rasanya. Padahal aku hanya ingin membahagiakan anak-anak itu. Biarlah, aku harus pergi tugasku belum selesai untuk mencabut nyawanya si Anu. Suatu saat aku akan kembali, kembali dengan anak-anak itu. Bermain kecipak air dan menangkap ikan bersama-sama. kira-kira takut apa tidak ya? Ah gampang itu, urusan keri. Glebeeeeeeeeeerrrrrrrr......

Akulah Izro’il, malaikat yang ingin bermain dengan anak-anak, seperti janjiku kemarin. Malam tiba, aku sengaja masuk ke dalm mimpi bapak-bapak yang kemarin mencegah anak-anak mengambil ikan itu. Kukatakan padanya bahwa aku ingin bermain dengan anak-anak, bermain air, mancing bareng. Bapak itu tersentak dari tidurnya, termangu-mangu mencerna mimpi yang baru saja dialami. Ada ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Aku tersenyum saja, toh aku bermaksud baik kok. Santai saja Om!

Siang harinya, selepas anak-anak itu pulang sekolah. Bapak itu mengajak anak-anak pergi memancing. Aku senang, ternyata keinginanku terpenuhi. Di bawanya panjing yang besar. Aku  agak sedikit heran, lha kok gak pas dengan ikan di sungai. Seharusnya yang dibawa mata pancing yang kecil saja, apa ya ada ikan besar di sungai. Wah kemaruk tenan bapak ini! Tapi tidak menjadi masalah buatku, aku akan bawakan ikan yang besar: biar senang.

“Kok bawa pancing besar pak?” tanya anak-anak

“Untuk menangkap Izro’il!”

“Hah? Malaikat maut itu mau bapak tangkap?”

“Iya”

“Apa bapak tidak takut?

“Tidak!”

“Aku takut”

“Kenapa?”

“Aku taku dengan malaikat itu, aku belum mau mati. Aku masih anank-anak. Aku masih ingin bermain. Bermain mobil-mobilan, pasaran, kuda-kudaan, perang-perangan, playstation. Cita-citaku belum tercapai pak. masak aku harus  bertemu izro’il”.

“Kamu tenang saja”

“Tenang?”

“Ya, sebab Izro’il hanya ingin bermain-main saja. tidak lebih!”

“Kalau tertangkap, malaikat itu mau diapakan, pak?”

“Akan aku potong sayapnya!”

“Mailakat punya sayap?”

“Setiap malaikat punya sayap”.

“Kenapa dipotong?”

“Biar tidak terbang kesana kemari. Supaya orang-orang tidak takut lagi. Supaya aku tenang menemani kalian. Dan yang paling penting agar malaikat itu tidak menghampiri mimpi-mimpiku!”

Akulah Izro’il, malaikat yang tersangkut di mata pancing anak-anak itu. Sayapku tak bisa bergerak. Ke sana kemari aku berusaha melepaskan pancing yang nyantol itu. Anak-anak itu tertawa riang.

“Ayo..ayo ditarik!, jangan sampai lepas”.

Aku dinaikkan ke daratan. Aku tersenyum geli. Tubuhku disentuh. Diitik-itik. Aku ingin tertawa. Uppzzz..jangan tertawa nanti mereka takut.

“Ambil pisaunya, ayo potong sayapnya!”. Ramai –ramai mereka memotong sayapku. Geli rasanya, dijamah tangan-tangan mungil itu. Jangan ah! Geli tahu.

Akulah Izro’il, yang saat ini merasakan kegembiraan bermain dengan anak-anak. Baru kali ini aku merakan kegembiraan. Biasanya tugasku cukup berat. Menghampiri nyawa disegala penjuru. Menariknya dengan perlahan. Merasuk kedalam suasana. Kini aku bahagia, bisa bermain dengan senyumnya anak-anak yang polos.

Sementara mereka masih asyik berusaha memotong sirip ikan yang disangka sayapku, diam-diam aku pergi meninggalkannya. Biarlah mereka asyik memotong sirip ikan itu, biarlah bapak itu puas dengan keinginannya: menghentikan langkahku. Meski aku pergi bukan dengan sayap saja. caraku berjalan banyak cara, banyak sarananya.

Akulah Izro’il, malaikat pencabut nyawa siapa saja. jalanku banyak, tidak Cuma yang terlihat dan kelihatan dekat dengan kematian tetapi yang mustahil dan jauh dari sangkaan manusia, aku bisa menyusupinya. Bahkan mimpi yang selembut itu pun aku sanggup. Akulah Izro’il yang hari ini bahagia bermain bersama anak-anak menangkap ikan di sungai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun