Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar, Petani, dan Tukang Ngarit

Pengajar dan Tukang Ngarit

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Blok-A

28 Juni 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kos itu masih seperti dulu. Semenjak Panjul menginjakkan kakinya di blok itu, penginapan mahasiswa itu tak ada perubahan yang berarti. Hanya cat warna putih yang memoles dan mencoba menyembunyikan warna kusam yang sebenarnya. Itupun hanya bagian depan kos, dari samping sama sekali tak ada pemugaran bahkan cenderung dibiarkan saja. Ini mungkin sebagaian trik para tuan rumah: modal sedikit tapi bisa meraup untung yang banyak. Musim tahun pelajaran baru seperti saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memoles kos-kosan supaya menarik para pelancong ilmu di kota ini. berbagai fasilitas ditulis dan dipampan di depan kos tapi sayang, kadang, itu hanya sebagai iklan semata. Tak lebih.

Panjul masih menatap kos-kosan yang tak jauh dari tempat duduknya. Apa yang dipikirkan Panjul? Apa dia berniat pindah ke kos tersebut? tak mungkin, sebab itu kos-kosan perempuan. Mungkin saja dia punya niat jahat, ingin menyelinap dan trambul tidur di salah satu kamar kos-kosan tersebut. itupun tak mungkin Panjul lakukan, bukankah panjul hanya laki-laki penakut. Jangankan masuk kamarnya, lha wong berdiri di depan gerbangnya saja tak berani. Bahkan kalau dihitung-hitung main ke kos tersebut bisa dihitung jari. Benar-benar tak punya nyali sebagai laki-laki untuk masuk wilayah perempuan. Kalau tidak mempuyai keinginan apa-apa, lantas mengapa sejak tadi dia manatap gedung tersebut? apakah ada kenangan yang tak pernah diketahui oleh teman-temannya? Kenangan apa? Asmara? Panjul terjerat asmara yang sekarang hanya tinggal kenang.

Ya, ternyata ada kenangan asmara antara Panjul dengan salah satu penghuni kos tersebut. “sebetulnya sulit untuk mengatakan apakah ini termasuk kenangan asmara atau bukan!”, kata Panjul. “aku sendiri tak paham dengan asmara dan cinta, apa arti dan makna dengan kata-kata itu?”, lanjut Panjul. Jika asmara atau cinta adalah keindahan dan kemasyukan para pecinta dan dicinta, maka kenangan ini bukan masuk wilayahnya. Tetapi jika asmara dan cinta merangkul semua rasa, pahit getir, susah senang, rindu dan kebencian, antara harapan dan rasa wa-was takut kehilangan maka kenangan yang aku alami termasuk itu: asmara dan cinta. Tapi aku tak mau memasukkan kenangan ini dalam partai perasaan: apakah itu cinta atau benci. Aku akan tetap membiarkan perasaan ini apa adanya, biar menjadi “rakyat” biasa,karena terlalu sulit mencari kursi hanya sekedar untuk meletakkannya.

Asmara yang kini jadi kenangan itu sebetulnya bukan tumbuh saat Panjul dan “dia” menginjakkan kota ini. sejak masih di kota asalnya panjul telah mencintai “dia”, meski Panjul tak pernahmengatakan. Menurutku inilah kesalahan Panjul, mengapa kok tidak dikatakan saja sedari dahulu. Mengapa Panjul hanya memendam bara asmara yang kini mungkin saja benar-benar menjadi bara yang tak sanggup digenggamnya lagi. Keputusan Panjul telah menyebabkan dirinya sendiri terbakar rasa yang tak pernah dia ungkapkan. Bahkan keterbakaran perasaannya itu tak hanya sekali atau dua kali saja, melainkan berkali-kali. Sejak di sini sampai saat ini, walau orang yang dicintai sudah kembali lagi ke kota kelahirannya. Kalaupun ada keindahan, bagi Panjul itu hanya laksana selingan hidup. Hanya iklan yang menghibur di tengah-tengah lakon cintanya. Kisah sedih yang menjalin waktu-waktu hidup Panjul seolah menjadi jalan hidupnya Panjul dan dia sendiri seakan tak pernah mencari sebab yang membuatnya kisah asmaranya bagaikan Roro Jonggrang-Bandung Bondowoso: sebuah kisah cinta yang dibalut kepura-puraan.

“aku sempat mengatakan gejolak hati ini padanya”, tiba-tiba dia bercerita. Aku sempat kaget, pasalnya apa iya manusia seperti panjul pernah mengutarakan isi hatinya pada perempuan. Kalau itu benar adanya, berarti prasangkaku dan teman-teman lain salah. Ternyata gambaran mengenai Panjul selama ini benar-benar tidak sesuai. Mungkin juga karena cinta, Panjul nekad mengungkapkan isi hatinya dan itu berarti keluar dari kebiasaan Panjul yang terlihat selama ini.

“ Kapan kamu mengatakannya Jul?”, tanyaku.

“ Belum lama, saat dia sudah pulang ke kota”, jawab Panjul.

“ Lantas jawabnya apa?”.

“ Dia menangguhkan, bingung mau bilang apa. Katanya kita jalanin saja kehidupan kita masing-masing jika Tuhan berkehendak pasti akan bertemu”.

Ah jawaban yang menurutku hanyalah penolakan yang begitu halus, penolakan yang diungkapkan dengan hati-hati agar tak menusuk yang bertanya. Jawaban itu bukan sebagai jawaban melainkan basa-basi saja. Setiap orang pasti tahu kalau hidup pasti menjalani kehidupannya sendiri, garis takdir Tuhan yang telah dihembuskan ke dalam jiwanya. Begitu pula dengan kehendak Tuhan: siapa yang mampu menghalangi atau membujuk rencana-Nya. Tuhan tak bia disuap dengan “sesuatu” karena Dia yang Maha Berkehendak. Jawaban yang diberikan ke Panjul tak lebih hanya keraguan. Ya keraguan yang sebenarnya sekarang di alami oleh perempuan itu. perempuan itu kemungkinan berada dalam keadaan “antara”. Aku hanya menebak: sebetulnya perempuan itu sudah punya laki-laki yang diidamkan hanya saja keadaannya juga belum pasti. Nasibnya masih menggantung antara ditinggalkan dan dipinang. Jawaban itu hanya usaha penyelamatan semata. Jika perempuan itu jadi dipinang laki-lakinya tentu jawaban yang diberikan pada Panjul tak salah. Dia tidak akan merasa berdosa apa-apa. Tetapi bila keadaan sebaliknya, maka dia akan menerima Panjul. Uh..diplomasi yang pintar dan licin, hanya sayangnya diri Panjul bak tempat pelarian semata, mirip tong sampah saja.

“ Jawaban itukah yang membuatmu sedih, Jul?”.

“ Bukan!”.

“ Lantas?”.

“ Entahlah, yang jelas aku sekarang merasa cuma sebagai pelarian, seperti yang kamu pikirkan”. Edan dia tahu dengan yang ku pikirkan. Siapa sebenarnya bocah aneh ini? kalau dia bisa membaca pikiran orang kenapa dia tak membaca pikirannya perempuan itu. apakah saat sedih saja Panjul keluar keanehannya?

“ Kok pelarian Jul, maksudmu?”

Aku merasa diriku tak lebih tempat pengasingan kawan. Bagi dia yang bimbang tatkala menunggu, akulah tempatnya berlari. Sebenarnya dia tidak menginginkanku, ada yang lebih diinginkannya dan itu bukan aku. Karena yang diinginkan juga belum ada kepastian akhirnya dia hanya nunut ngiyup padaku. Aku sebenarnya tidak keberatan seumpama hidupku sebagai tempat pelarian bagi siapa saja yang lagi sedih maupun gembira. Itu bagian cita-cita perjalanan hidupku. Tetapi kalau soal perasaan yang aku sendiri terlibat di dalamnya, aku tak sanggup. Itu hanya akan menusuk perasaanku, bagaikan menabur garam di atas luka.

Tidak akan aku jadikan diri ini sebagai tempat pelarian untuk kisah cintanya. Orang yang jadi pelarian tidak akan pernah menadapat cinta sejati. Mungkin dirinya cinta dengan benar-benar cinta tetapi bagi yang dicintai, yang berlari pada dirinya, siapa bisa menjamin kalau mencintai dengan setulusnya? Kalau sudah demikian tak lebih kisah cintanya Begawan Abiyasa dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Sang Begawan yang begitu tulus cintanya hanya diladeni dengan kepura-puraan oleh dua Dewi yang cantik tersebut. hasilnya apa? Keturunan yang dilahirkan hanya keturunan yang merem (buta) dan mlengos (bengkok lehernya). Apakah kamu ingin punya keturunan seperti itu? syukur kalau hanya merem dan mlengos secara fisik tetapi kalau yang merem dan mlengos itu mata hatinya bagaimana? Semakin runyam saja kehidupan negara ini.

Aku tidak mau menjadi tempat pelarian, bukannya aku benci pada dia. Justru aku mencintainya, mencintai generasi bangsa ini. genarasi dan cinta itu bertalian erat, tetapi cinta yang aku katakan tidak semudah untuk diucap atau dituliskan pada larik-larik lagu bahkan tulisan ini. yang tahu cinta sejati hanya yang mengalami karena cinta bukan kata melainkan al-hal, keadaan. Dia harus dirasakan untuk tahu tentang makna cinta sejati itu, layaknya manisnya gula yang tak cukup diceritakan untuk mengetahui rasanya tetapi harus diambil dan diemut.

“ Kamu harus iklhas melupakannya, Jul!”

“ Iya dan itu yang sedang aku pikirkan. Aku iklhas tapi akan kujalani perlahan-lahan, karena iklhas itu latihan yang terus menerus bukan gembyah uyah, langsung bisa. Ikhlasku karena aku mencintainya, menghormati perasaanku dan perasaannya”.

“biarkan aku sejenak melihat kos itu. tempat yang menyimpan ceritaku. Biarkan aku memandang untuk terkhir kali sebelum lenyap bersama lenyapnya perasaan ini padanya!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun