Semua berawal ketika Menteri Investasi (Kepala BKPM) Kanda Bahlil Lahaladia mengusulkan untuk menunda pemilu 2024. Bagaimana tidak? Mantan Ketum HIPMI ini mengutip hasil survei kepuasan terhadap Jokowi dan dikombinasi dengan harapan dari para pengusaha yang yakin stabilitas ekonomi terjamin. Dari situlah gagasan akan penundaan ini, seakan-akan meng-hegemoni tokoh nasional lainnya untuk merespon wacana tersebut.
Seperti halnya Cak Imin yang meng-klaim penundaaan pemilu berdasarkan acuan dari big data yang ada di media sosial. Menurutnya dari 100 juta akun, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu. Klaim yang dilancarkan Cak Imin membuat dirinya tersudutkan.
Di tengah banjir kritik terhadap wacana yang digulirkan tiga ketua umum partai politik tersebut, sikap presiden dinilai tidak tegas. Kegaduhan pun berlanjut hingga menunggu respon langsung dari Jokowi yang dinilai tidak tegas.
Nyatanya, Jokowi yang awalnya menolak untuk memperpanjang kekuasaannya, justru luntur dengan dalihnya yakni wacana penudaan bagian "demokrasi". Padahal wacana penundaan ini sangat berpotensi menjerumuskan Jokowi untuk melanggar konstitusi.
Sikap gamang Jokowi ini dikritik pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Dia meyakini bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Jokowi ini adalah malu-malu tapi mau. Akankah situasi politik bernasib sama seperti lagu Arial Noah "Kala Cinta (kekuasaan) Menggoda". Dengan nada reff nya "Maka izinkan lah aku, tuk 3 periode".
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Violla Reininda, juga bersuara tentang wacana ini.
Baginya Pembatasan kekuasaan Presiden, Wakil Presiden dan Legislatif selama 5 tahun tidaklah normatif, melainkan konstitusionalisme tentang pembatasan kekuasaan lah yang sangat tidak masuk akal dan bersifat melangkahi kedaulatan rakyat.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana cara pusat melenggangkan Undang-Undang Cipta Kerja, lalu dengan cara kotor apa untuk mengesahkan Wacana Penundaan Pemilu?
Kita pahami bersama bahwa konsep demokrasi yang Indonesia pakai mengacu pada demokrasi pancasila dengan mekanisme UUD 1945. Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali. Bagaimana bisa seorang pemimpin salah memahami makna demokrasi dalam menyikapi isu yang di "goreng" oleh menteri-menterinya sendiri?
Dalam demokrasi sendiri segala pikiran dan gagasan sangat boleh diungkapkan ke publik. Namun, wacana penundaan ini seakan-akan menguburkan demokrasi beserta konstitusi dalam-dalam. Tentunya, sikap ketidaktegasan presiden akan menjadi parameter peniliaian publik.