Tiap negara memiliki permasalahan yang sama dalam pembangunan ekonomi, yaitu bagaimana mengatasi kemiskinan dengan cara menurunkannya pada persentase yang sekecil mungkin. Jika peningkatan investasi, yang merupakan rencana pemerintah Indonesia untuk 5 tahun ke depan, mampu membuka lebih besar lapangan kerja maka akan semakin besar output yang dihasilkan, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi yang terus bertumbuh dapat dijadikan salah satu tolok ukur adanya pembangunan ekonomi yang mana salah satu indikatornya adalah penurunan tingkat kemiskinan.
Selama 12 tahun lebih 3 bulan sejak tahun 2007 hingga Maret 2019, BPS mencatat bahwa kemiskinan Indonesia telah turun sebesar 3,11%. Jika dbandingkan dengan beberapa negara tetangga, World bank mencatatkan bahwa besaran penurunan di Malaysia sebesar 4,7% (2002 hingga 2015) Thailand  13,3% (2006 hingga 2016), sedangkan Myanmar turun hingga 16,1% (2005 hingga 2016).
Meskipun kondisi sosio-politik berbeda-beda pada tiap negara, namun perlu kiranya untuk memikirkan penyebab utama rendahnya besaran penurunan kemiskinan di Indonesia dibanding beberapa negara tetangga dan bagaimana investasi diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Penyebab Kemiskinan
Menurut hemat penulis, ada tiga penyebab utama besaran penurunan kemiskinan di Indonesia memiliki persentase yang relatif kecil. Pertama, dapat dilihat dari koefisien gini. Laporan BPS menunjukkan bahwa koefisien gini Indonesia berada pada level 0,382 per Maret 2019, yang artinya sebanyak 1% dari populasi menguasai 38,2% total pendapatan nasional Indonesia.
Berdasar kriteria yang diberikan Todaro dan Smith (2011), level tersebut dapat digolongkan kedalam relatively unequal distribution. Pendapatan yang tak merata tentunya menjadikan kemiskinan akan terus ada. Ditambah lagi, penurunan koefisien gini dalam 1 tahun ini juga sangatlah kecil (0,7%).
Untuk dapat menurunkan secara signifikan distribusi pendapatan, membuka lapangan pekerjaan sebesar mungkin merupakan salah satu kuncinya. Pada titik ini, investasi yang tepat sasaran sangatlah diperlukan,terutama investasi langsung di sektor riil.
Investasi yang diarahkan pada pembangunan infrastruktur penghubung antar satu kawasan ke kawasan lain akan mendorong peningkatan internal maupun eksternal economics of scale yang ditandai dengan turunnya biaya produksi. Hal ini akan meningkatkan profit sehingga akan ikut menarik para investor untuk  perluasan lapangan kerja baru yang diharapkan akan meningkatkan lapangan kerja.
Sebab kedua kemiskinan dapat dilihat dari MPI (Multidimensional Poverty Index). Berdasar laporan perhitungan MPI Indonesia yang dikeluarkan oleh Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHD) tahun 2017, permasalahan yang paling tinggi nilainya adalah kematian anak dan kurangnya nutrisi. Tak heran jika salah satu visi presiden Jokowi adalah meningkatkan pembangunan sumber daya manusia dengan cara memberikan jaminan kesehatan untuk ibu hamil, bayi, balita, dan anak sekolah.
Amartya Sen pernah menjelaskan bahwa kemiskinan bukanlah berbicara tentang persoalan kekurangan uang, tetapi berbicara tentang nihilnya kapabilitas untuk dapat meningkatkan potensi terhebat seseorang sebagai seorang manusia (Executive summary calculation MPI Indonesia 2012-2014). Hal itu sesuai dengan visi Presiden Jokowi yang berupaya untuk meningkatkan kapabilitas seseorang dengan meningkatkan kualitas pendidikan melalui vocational training, vocational school, dan juga pembangunan manajemen talenta.
Agaknya, artikel Hyun H. Son (2013) yang dipubikasikan dalam Asian Development Review, dapat menjadi sebab ketiga kecilnya besaran penurunan kemiskinan Indonesia. Hyun H. Son telah mengingatkan tentang kemiskinan tetapi dilihat dari sudut pandang tinggi rendahnya kesempatan dalam mengakses edukasi dan infrastruktur yang disediakan pemerintah.
Dalam artikelnya tentang kesempatan (opportunity) bagi anak-anak untuk dapat mengakses pendidikan dan infrastruktur, atau dikenal dengan istilah Human Opportunity Index (HOI), didapat hasil bahwa rata-rata anak di Indonesia memiliki kesempatan sampai 93,42% untuk dapat mengakses primary education. Sayangnya, persentase tersebut berkurang hingga 77,57% saat hendak mengkases secondary education.
Lebih parahnya lagi, akses infrastruktur dalam bentuk air bersih dan sanitasi secara berurutan memiliki persentase sebesar 21,08% dan 49,33%. Artinya, secara rata-rata anak indonesia hanya memiliki kesempatan sebesar 21,08% dan 49,33% untuk dapat mengakses air bersih dan sanitasi yang layak
 Dengan adanya investasi yang diarahkan pada sektor pendidikan dan infrastruktur, maka diharapkan akan terjadi peningkatan kesempatan anak-anak dalam hal akses pendidikan dan infrastruktur yang layak, sehingga kemiskinan pun berkurang.
Tantangan peningkatan investasi
Saat ini Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai lower-middle income countries dengan pendapatan per kapita sebesar $3,840[1]. Untuk menjadi negara yang tergolong high-income countries agar tercipta pembangunan ekonomi yang besar dan secara signifikan menurunkan kemiskinan, dibutuhkan pendapatan per kapita sebesar $12,056.
Berdasarkan data tersebut, Indonesia akan tergolong high-income countries di tahun 2034, atau 16 tahun lagi terhitung sejak tahun 2018 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun. Tantangan untuk mencapai pertumbuhan 8% terdapat pada nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio)[2] Indonesia yang saat ini berada di level 6,3.
Mengutip penjelasan Chatib Basri, nilai tersebut berarti pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan rasio investasi terhadap pendapatan nasional sebesar 6,3%, yang artinya jika perekonomian Indonesia ingin tumbuh 8% per tahun, berarti Indonesia harus memiliki rasio investasi terhadap pendapatan nasional sebesar 50,4% sedangkan per tahun 2018, rasio investasi terhadap pendapatan nasional Indonesia hanya sebesar 4,18% saja[3]. Hal inilah yang menjadi tantangan Indonesia jika hendak melangkah menuju high-income countries dan menurunkan secara signifikan level kemiskinan.Â
 Tentunya pemerintah sudah mengantisipasi kesulitan ini. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan bank Indonesia yang sudah menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75% per 18 Juli 2019 dari sebelumnya 6,00% pada Juni 2019. Dampaknya, dapat di prediksi tentunya akan meningkatkan investasi di sektor riil karena biaya pinjaman yang lebih murah, di sisi lain suku bunga yang rendah akan memicu capital outflow.
Jika capital outflow dalam bentuk mata uang asing, maka bersiap-siap nilai rupiah akan melemah, namun akan diharapkan akan sedikit memperkuat current account Indonesia melalui sektor ekspor.
Jadi, kembali lagi apakah kebijakan penurunan suku bunga mampu meningkatkan kapasitas ekonomi Indonesia dan menurunkan level kemiskinan merupakan isu-isu krusial dan tak dapat dihindari.
Kepemimpinan periode kedua Presiden Jokowi dengan pembangunan berbasis investasi ini akan sangat dinanti dampaknya oleh masyarakat. Meski investasi memang mampu mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan, namun perlu suatu lompatan besar agar investasi yang masuk dapat secara signifikan menurunkan kemiskinan Indonesia dan menjadikan Indonesia selangkah lebih maju.
Negara kita adalah negara yang menganut asas gotong royong yang dengan itu, sesuatu yang tak mungkin, mungkin saja terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H