Masalah tanah memang sensitif, selain menjadi sumber ekonomi dan kehidupan yang sifatnya statis, hingga menyebabkan nilai ekonominya terus naik seiring permintaan yang semakin tinggi, sisi historis tanah juga mempunyai hubungan emosional yang sangat unik, hingga terlalu mahal untuk dinilai dengan uang, apalagi sekedar diganti dengan janji-janji.
Cerita Raksasa-raksasa Tidur dari Kalimantan Selatan
Dua dekade silam, setiap mendapatkan dinas ke Kalimantan, terutama ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sesaat setelah mendarat di Bandara Syamsoedin Noor, Banjarbaru dan dilanjut perjalanan darat estafet ke Kota Banjarmasin dan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah atau sebaliknya, Â langsung menuju ke Kota Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, saya selalu dibuat takjub dengan begitu luasnya hamparan lahan yang dibiarkan terbengkalai begitu saja di kiri kanan jalan.
Pada musim penghujan, lahan luas yang ternyata berupa rawa-rawa yang sebagian besar ditumbuhi vegetasi pohon galam atau gelam
(Melaleuca leucadendra) dan kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Ness), sejenis rerumputan rawa ini selalu tampak digenangi air dengan kedalaman yang bervariasi tergantung intensitas hujannya, berbanding terbalik ketika memasuki musim kemarau yang kering, hingga vegetasi kumpai dan hutan galam lebih mudah terbakar dan menjadi sumber kabut asap.
Sebagai orang Jawa yang biasa hidup dalam ruang yang sesak, padat dan tuntutan produktifitas tinggi pada lahan, melihat pemandangan kontras sarat ironi ini, tentu saja membuat saya prihatin sekaligus terus bertanya-tanya dan juga berandai-andai!Â
Siapa ya, pemilik lahan strategis etalase-nya Kalimantan Selatan ini? Kok bisa  sih lahan premium seluas itu dibiarkan terbengkalai begitu saja? Wajar, jika kemudian banyak pihak yang menyebut lahan-lahan ini sebagai "raksasa-raksasa tidur", karena potensi "raksasanya" lahan yang menguap begitu saja karena tidak tereksplor!
Seandainya, lahan-lahan luas itu diberdayakan untuk lahan produktif, semisal untuk lahan pertanian (termasuk perikanan ataupun peternakan) seperti praktik yang diemban oleh land bank seperti di Belanda dan Filipina yang diberi mandat negara untuk memberdayakan lahan-lahan terbengkalai untuk pengembangan sektor pertanian, tentu akan memberi efek domino yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan.
Apalagi secara faktual, bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalimantan Selatan, sejauh ini masih lebih banyak bergantung pada pasokan dari pulau Jawa, hingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Inilah salah satu sebab harga-harga kebutuhan pokok dan juga barang-barang secara umum di Kalimantan (Selatan) jauh lebih mahal.Â
Jangan heran ya, kalau sekali waktu mendengar atau mungkin melihat sendiri, berkarung-karung wortel, kubis, hingga telur ayam dari Pulau Jawa yang dikirim ke Kalimantan, terbang satu pesawat dengan anda!