"Saktinya" Pak De
Dulu, sewaktu duduk di bangku SD alias sekolah dasar di era 80-an, saya mempunyai guru pelajaran IPS atau ilmu pengetahuan sosial yang menurut kami cukup sakti mandraguna hingga membuat kami terkagum-kagum!
Namanya Pak Yitno atau lengkapnya Suyitno, sebuah nama yang Njawani banget, yang menurut empunya nama berasal dari bahasa Sansekerta yang konon maknanya adalah waspada atau bisa juga hati-hati.
Uniknya, alih-alih dipanggil dengan Pak guru atau Pak Yitno selayaknya keumuman yang berlaku di kampung-kapung kami di seputaran Timur Laut kaki Gunung Lawu di ujung barat Jawa Timur, beliau malah meminta kami semua, murid-muridnya untuk memanggil beliau dengan panggilan Pak De! Unik dan nyentrik bukan, Pak Guru eh, Pak De yang satu ini?
Eh, tahu istilah panggilan Pak De kan?
Panggilan Pak De atau versi lainnya adalah Pak Puh merupakan sapaan atau panggilan khas ala masyarakat Suku Jawa yang secara umum ditujukan untuk orang yang dituakan atau dihormati, sedang secara khusus atau secara leksikal biasanya dipakai untuk menyapa atau memanggil saudara lebih tua (kakak) dari bapak atau ibu. Ini sama dengan sapaan/panggilan Julak dalam tradisi masyarakat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Masih ingat nggak dengan Kompasianer Julak Ikhlas?
Bedanya, kalau Pak De merupakan akronim dari frasa Bapak Gede, maka Pak Puh merupakan akronim dari frasa Bapak Sepuh yang secara leksikal maknanya relatif sama, yaitu sama-sama bermakna lebih besar/tua.
Salah satu "kesaktian" Pak De yang paling sering kami saksikan dan dengarkan dengan mata dan telinga kami sendiri adalah terkait pengakuannya yang sampai di usia senjanya baru merasakan perjalanan terjauh (dengan kereta api) sampai ke Stasiun Jebres di Solo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar 100-an km dan Stasiun Semut atau Stasiun Kota di Surabaya yang berjarak hampir 200-an km. Saktinya dimana?
Baca Juga Yuk! Diaspora "Gula Gending-Lombok", Melintas Negeri untuk EksistensiÂ