Meskipun sekejap, Ce Netty sempat menangkap dua bola cahaya kekuningan bersemu merah, sepertinya inti bola mata yang seketika seperti terbang dan menjauh dengan menyisakan suara menggeram yang lebih panjang dari sebelumnya.
"Ya Tuhan, apa itu tadi!?"Â Meskipun kaget dan lumayan bergidik juga, Ce Netty yang tiba-tiba merasa kegerahan meskipun udara sedang dingin-dinginnya, tetap berusaha tenang dan menguasai diri dengan duduk dan mengatur nafasnya senyaman mungkin.
Baca Juga Yuk! "Romansa si Tambeng dan Babi-babi Belajar di Ketinggian Kabuaran" Â
"Ada yang lewat dan tiba-tiba memotong jalan kita tadi!" Bang Zul membuka obrolan, memecah kebekuan dalam cuaca dingin, ketika kami baru saja sampai di pondok dan mulai meluruskan kaki-kaki kami sambil meneguk air mineral dari botol yang kami bawa.
 "Ooooh!" sahutku juga Bang Deni berbarengan, sambil berpandang-pandangan dan mengangguk-angguk tanpa merasa perlu lagi memperjelas apa yang diceritakan Bang Zul. Kami paham apa maksudnya. Karena kami berdua yang posisinya saat kejadian tepat di belakang Bang Zul, tidak merasa melihat apapun saat itu. Artinya yang dimaksud Bang Zul lewat dan memotong jalan pastilah... Ah, pahamkan siapa itu?
Di pondok yang sengaja hanya ditutup sebagian saja di bagian bawah itu, dengan pencahayaan dari ublik yang berbahan bakar getah damar dengan bau harum yang khas itu, kami memulai "dinas malam" dengan makan bersama sambil sesekali menyeruput seduhan kopi Arabika nashitel buatanku yang Insha Allah akan membuat kita melek terus semalaman.
Kali ini, karena bertepatan dengan malam Jumat, seperti biasanya Bu Haji Hasan selalu membekali kami dengan lauk spesial, yaitu ayam bakar pedas resep keluarga Pendalungan yang telah berumur ratusan tahun sebanyak 2 ingkung atau 2 ekor ayam yang dimasak utuh. Waaah siapa yang sanggup menolak kalau sudah begini!?
Karena selepas Maghrib tadi, aku dan Bang Deni nggak sempat ke dapur posko untuk makan malam dan sepertinya kami berenam memang kelaparan setelah berjalan menanjak sekitar 2 jam, maka ingkung ayam bakar yang baunya begitu menggoda ini, sepertinya tidak akan berumur panjang.
Ketika lagi enak-enaknya menikmati ingkung ayam bakar yang mengingatkanku pada olahan ayam panggang tumbang alias ayam panggang berbumbu ketumbar-bawang khas Madiunan olahan ibu yang citarasanya mirip banget, tiba-tiba kami dikejutkan oleh Bang Deni yang tiba-tiba berdiri dan terlihat seperti melihat sesuatu di titik sebelah kanan kami, tepat di pepohonan trembesi tua yang dari jauh kelebatan daunnya membentuk imajiner selayaknya rambut kribo itu.
"Duduk Den, palingkan pandanganmu!" Perintah Bang Harun sambil menarik tangan kiri Bang Deni yang sepertinya melihat sesuatu di kejauhan, sampai dia terduduk.
"Astaghfirullah, Bang...!" Ucap Bang Deni setelah berhasil menguasai dirinya sendiri sepenuhnya.