Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Memperkenalkan (Kembali) Budaya Sarungan Kepada Anak-anak

3 April 2024   22:09 Diperbarui: 3 April 2024   22:11 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan  | KOMBATAN

Sarung yang konon berasal dari tradisi berbusana masyarakat badui Yaman ini, diyakini sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-14 melalui para pedagang dari Arab dan Gujarat, India yang saat itu sudah banyak berdagang sampai ke Nusantara.

Sedangkan pemakaian istilah "sarung" tertua, bisa ditemukan dalam karya sastra awal abad XIX berjudul Hikayat Qadiroun yang bercerita tentang perilaku orang Arab yang dianggap aneh oleh masyarakat. Mereka berkeliling kampung berteriak-teriak sambil menawarkan sarung kepada masyarakat.

Uniknya, sejak saat itu, sarung justeru menjadi identitas budaya masyarakat Melayu, khususnya pelaut-pelaut di semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

Meskipun sarung sekarang lebih identik dengan santri, tapi setelah mendapatkan sentuhan kearifan lokal dari masing-masing wilayah di Nusantara, menjadikan sarung dari berbagai daerah di Indonesia  mempunyai cirikhas serta keunikan yang semakin mempercantik sekaligus memperkaya khasanah persarungan nusantara.


Gayung bersambut, tidak mau melewatkan momentum, akhirnya pemerintah Indonesia  menetapkan tanggal 3 Maret 2019 sebagai Hari Sarung Nasional, dengan harapan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting sarung dalam kebudayaan Indonesia.

Sayangnya, fenomena "tradisi sarungan" saat ini hanya terkonsentrasi di dalam pesantren-pesantren saja, itupun pesantren-pesantren yang bisa dikategorikan sebagai pesantren tradisional saja. Di luar pesantren jenis ini, biasanya sarung juga bukan lagi menjadi identitas para santrinya.

Padahal jika di kelola secara benar, potensi budaya dan juga ekonomi sarung pasti sangat besar di Indonesia yang sebenarnya secara budaya memang punya sejarah kedekatan yang sangat signifikan.

Berangkat dari fakta inilah, sepertinya sudah saatnya sarung diperkenalkan (kembali) kepada anak-anak Indonesia, agar sarung dan budaya sarungan kelak tidak hanya sekedar tinggal kisahnya saja.

Karena secara tradisional dan emosinal, sarung tidak sekedar kain untuk memenuhi kebutuhan pemakainya, tapi citra kesederhanaan, berwibawa dan juga estetis yang melekat padanya juga kebanggaan kita semua.

Sarung jangan hanya dijadikan sebagai bawahan untuk shalat atau peruntukan lainsesuai kebutuhan secara tradisional, tapi sudah saatnya dikembangkan menjadi produk-produk lain yang masih linier. Olah sarung menjadi berbagai produk fashion unik, menarik dan berkualitas, hingga kelak bisa menjadi bagian dari tren fashion dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun