Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Balai Hakey, Saksi Bisu Tradisi Toleransi Berusia Ratusan Tahun

31 Maret 2024   22:28 Diperbarui: 31 Maret 2024   22:31 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Pusaka Banua lawas| Banjarmasin post 

Jauh sebelum Kesultanan Banjar berdiri di abad ke-16, bahkan sebelum  kerajaan Nagara Dipa dan Kerajaan Daha cikal bakalnya ada, masyarakat suku Ma'anyan, salah satu sub suku Dayak, telah mempunyai peradaban yang cukup maju berikut tata pemerintahan sendiri yang kelak dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Nan sarunai.

Sayang, kerajaan yang eksis sejak jaman prasejarah hingga sekitar abad ke-14 di Pulau Kalimantan  ini akhirnya bubar setelah diluluh lantakkan oleh serangan armada Majapahit, hingga masyarakat suku Ma'anyan akhirnya terdiaspora.

Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Suku Ma'anyan sendiri, pasca terdiaspora ini, munculah tokoh legendaris Labai Lamiah, seorang mualaf sekaligus mubaligh atau pendakwah asli putra Dayak Ma'anyan pertama yang berdakwah di seputaran wilayah Nagara yang sekarang masuk ke wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Masjid Pusaka Banua lawas| Banjarmasin post 
Masjid Pusaka Banua lawas| Banjarmasin post 

Dari dakwah Labai Lamiah inilah masyarakat Suku Ma'anyan, khususnya yang tinggal di seputaran Banua Lawas atau sekarang dikenal sebagai kawasan Pasar Arba, tidak jauh dari Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong akhirnya secara mayoritas memeluk agama Islam.

Dalam perjalanannya, karena orang-orang Ma'anyan muslim ini memerlukan tempat ibadah untuk melaksanakan shalat 5 waktu, maka akhirnya Balai Adat orang Ma'anyan di kawasan ini dialih fungsikan menjadi masjid yang sampai sekarang masih ada dan dikenal sebagai masjid pusaka Banua lawas.

Orang-orang Ma'anyan muslim inilah yang kelak disebut hakey oleh saudara-saudara mereka, masyarakat Ma'anyan yang masih memeluk keyakinan lama mereka.

Asal-usul sebutan hakey yang juga disematkan kepada Orang-orang Islam yang menjadi utusan dari Kesultanan Banjar dalam upacara Ijambe, upacara kematian khas Suku Ma'anyan juga cukup unik lho!

Awalnya, para utusan yang beragama Islam ini, dengan sopan menolak untuk menyantap hidangan tradisional yang disajikan oleh tuan rumah yang sebagian besar memang berbahan daging babi dan juga unggas yang sudah pasti tidak disembelih sesuai tuntunan dalam Islam, sehingga orang Islam tetap dilarang untuk memakannya.

Selain itu, melalui ketua utusan, mereka juga menjelaskan secara detail larangan dari syariat Islam untuk ikut menikmati sajian adat tersebut.

Beruntungnya, dilingkungan adat masyarakat Ma'anyan sendiri sudah ada yang muslim juga, hingga dari situasi ini kelak justeru lahir tradisi penuh toleransi yang kelak juga kita kenal sebagai balai hakey.

Tetua adat Suku Ma'anyan yang mendengar penjelasan langsung dari para utusan dari Kesultanan Banjar dan juga masukan dari muslim Ma'anyan sendiri langsung berkata "O ... hakahiye sa!" yang maknanya "O ... begitukah!".

Dari sinilah, istilah hakey akhirnya tersematkan kepada semua muslim, baik utusan dari kesultanan Banjar, maupun juga orang Dayak Ma'anyan yang telah bersyahadat alias sudah beragama Islam.

Tidak hanya itu, sejak saat itu juga, tetua adat suku ma'anyan memerintahkan dibangunnya balai hakey di setiap penyelenggaraan acara-acara adat besar yang mengundang hakey.

Balai Hakey adalah bangunan rumah besar yang dibangun khusus untuk masyarakat muslim, baik dari kalangan suku Maanyan sendiri maupun Suku Banjar yang yang hadir dalam acara-acara adat besar seperti upacara ijambe, tewah dan aruh ganal atau kenduri besar lainnya.

Di balai hakey, masyarakat muslim diberikan fasilitas lengkap dan layak, termasuk tempat ibadah, alat memasak khusus dan tentunya bahan makanan halal yang bisa dimasak sendiri kapan saja, sehingga kehalalannya pasti bisa dipertanggungjawabkan. Luar biasa bukan?

Memang harus diakui, lahirnya orang hakey menjadikan suku Ma'anyan tidak lagi satu, mereka terbelah menjadi dua bagian besar. Uniknya, sebagian besar yang memilih menjadi muslim, mereka semuanya melebur dalam status baru, sebagai Urang Banjar.

Sedangkan sebagian besar lainnya lagi lebih memilih untuk tetap melanjutkan tradisi keyakinan serta adat istiadat nenek moyangnya.

Nah, masyarakat Ma'anyan yang memilih tetap dalam keyakinan leluhur ini, akhirnya juga memilih untuk sedikit menjauh ke daerah baru di tepian Sungai Siong, bagian Barat Daya kawasan Tamiang Layang yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Tengah.

Luar biasanya! Meski orang Ma'anyan ini memilih untuk menjauh dari saudara-saudara hakey-nya, mereka, tetap intens untuk menjaga tali silaturahmi dan tali kekerabatan dengan saudara-saudaranya yang sekarang telah bertransformasi menjadi entitas baru dan lebih dikenal sebagai Urang Banjar tersebut.

Persaudaraan Orang Ma'anyan dengan kerabat hakey tetap terjalin baik. Bahkan, banyak tercatat dalam sejarah Banjar maupun tradisi lisan Orang Ma'anyan, beberapa Sultan yang memerintah Kesultanan Banjar dan juga keturunannya kelak banyak yang kawin-mawin dengan para pembesar keturunan Orang Ma'anyan, menjadikan tali temali persaudaraan diantara mereka justeru terjalin semakin kuat.

...dan Balai Hakey sejak berabad-abad silam, sejak beratus-ratus tahun lalu, telah menjadi saksi bisu kuatnya ikatan persaudaraan mereka yang didasarkan pada konsep toleransi yang sangat kuat hingga detik ini.

Kehadiran tradisi bertoleransi dalam wujud balai hakey, sampai detik ini dan seterusnya Insha Allah akan tetap aktual, karena sampai saat ini masih bisa dilihat, terutama di Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah saat penyelenggaran even besar seperti aruh ganal dan lainnya guna menginspirasi dunia, bagaimana bertoleransi yang adil dan proporsional di daerah.

Semoga bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun