Kekayaan khazanah budaya literasi masyarakat melayu Banjar di Pulau Kalimantan mengenal banyak sekali idiom atau ungkapan sebagai bentuk refleksi dari dinamika kehidupan sosial antar masyarakat, selayaknya budaya khas masyarakat Melayu Nusantara lainnya.
Salah satu ungkapan dalam bahasa Banjar yang secara konteks waktunya terhitung aktual adalah ungkapan Hamuk Kalalatu.
Hamuk Kalalatu ini merupakan frasa dalam bahasa Banjar yang terbentuk dari dua kosakata dasar, hamuk yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah amuk dan kalalatu, sejenis sisa pembakaran (daun atau kertas) yang bisa terbang dengan bara kecil di pinggir-pinggirnya karena tertiup angin.
Baca Juga : Â Bedah Idiom Banjar, "Balang Kambingan"
Secara umum ungkapan ini bisa dilihat pada orang-orang yang seolah-olah "berteriak atau bersuara" lantang layaknya orang yang hamuk hingga seolah-olah rela mati untuk membela atau memperjuangkan aspirasi masyarakat atau umum, tapi sebenarnya hanya sebatas karena ada kepentingan yang bersifat pribadi atau personal saja.
Biasanya, setelah kepentingan pribadinya terpenuhi atau dipenuhi dengan berbagai cara, entah karena "dibisai", dipanggil dan diajak bicara oleh orang berpengaruh apalagi keperluannya dipenuhi, seketika hilang suaranya, tidak terdengar lagi kevokalannya, bahkan bisa jadi tidak lagi peduli dengan niat awal untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Suara menggelegarnya hanya sebentar saja, persis seperti letupan-letupan pada bara "kalalatu" yang akhirnya hilang dengan sendirinya karena terbang ke udara, tertiup oleh angin sampai menjadi abu, bahkan lenyap dan hanya meninggalkan kukus atau asap tipis saja, tanpa sempat membesar menjadi api yang bisa membawa berbagai perubahan.
Biasanya kalau ditanya perihal "kelantangannya" terdahulu yang seolah-olah siap berperang, siap mati, mereka akan pura-pura gagu dan lupa!
Banyak kan yang beginian di sekitar kita!?
Ini salah satu kearifan budaya literasi masyarakat Banjar dalam mendokumentasikan realitas dinamika sosial masyarakat disekelilingnya.