Salah satu hobi saya di akhir pekan yang sampai sekarang masih tetap bisa saya jalani dengan menyenangkan adalah blusukan ke pasar-pasar tradisional, menikmati sekaligus mengabadikan beragam kronik kehidupan yang benar-benar orisinil.
Di seputaran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!, saya mempunyai beberapa pasar tradisional favorit yang lebih sering saya blusuki daripada pasar-pasar tradisional lainnya, salah satunya yang paling dekat dengan rumah adalah Pasar Ahad.
Sesuai dengan namanya, Ahad yang berarti Minggu, hari pasar di sini adalah hari Ahad atau hari Minggu. Jadi kalau pas hari Minggu, pasar ini jauh lebih ramai dari hari-hari biasanya.
Biasanya, di hari pasar ini pedagang-pedagang dari pedalaman pada turun berjualan ke Pasar Ahad, karena itulah kalau kita blusukan di hari Ahad atau hari Minggu maka kita bertemu dengan beragam dagangan yang tidak biasa bahkan tidak umum bagi orang kebanyakan.
Bisa buah-buahan gunung yang langka, ikan-ikan tangkapan yang juga mulai sulit didapat, juga beragam kue-kue tradisional yang pastinya juga sangat langka dan pastinya sedaaaap banget!
Nah, hari Ahad yang lalu, kebetulan berbarengan dengan long weekend, saya juga kembali mblusak-mblusuk di Pasar Ahad yang sedang penuh-penuhnya  dan ternyata dipasar sedang dibanjiri buah Tiwadak atau cempedak. Itu lho, saudaranya buah nangka yang baunya haruuuuuum banget, kalau sedang masak.
Nah karena sudah lama juga nggak masak tiwadak, setelah puas mblusuki pasar, akhirnya saya langsung membeli beberapa buah cempedak untuk kita bikin menjadi beberapa olahan kuliner uenaaak khas Urang Banjar.
Ada tradisi unik di lingkungan Urang Banjar ketika sedang "banjir" buah tiwadak, selain buahnya yang bisa dimakan langsung atau bisa juga diulah menjadi gaguduh atau guguduh alias gorengan tiwadak dan juga biji buahnya yang bisa direbus untuk dijadikan kudapan bersama-sama dengan cocolan tahi lala (inti dari minyak kelapa), maka ada satu lagi olahan favorit kita, yaitu Mandai.