Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jembatan Dewi, "Ophaal Brug" Pertama Peninggalan Belanda di Banjarmasin

15 Desember 2023   20:27 Diperbarui: 15 Desember 2023   20:42 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan "Ophaal Brug" terbuka di kanal  Bandjermasin Zuid-Borneo, antara tahun 1944-1955 | Tropen museum.

Jika anda pernah bajajalanan alias jalan-jalan ke "Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!" dan sempat bakuliling kota, tentu anda akan menemukan banyak jembatan yang membentang di atas sungai-sungai yang membelah daratan kota.

Itulah sebabnya selain dikenal sebagai Kota 1000 Sungai, Banjarmasin juga layak disebut sebagai Kota Sejuta Jembatan. Lho kok sejuta!? Lhaah kan jumlah jembatan pasti lebih banyak dari jumlah sungainya! Betul!? He...he...he...

Diatas bentang Sungai Martapura (dulu juga dikenal sebagai Sungai Banjar Kecil) saja, salah satu dari dua sungai besar yang membelah Kota Banjarmasin, berdiri megah beberapa jembatan ikonik kota yang masing-masing mempunyai ciri khas desain dan tentunya sejarah panjang yang berbeda-beda.

Baca Juga :  Kanal-kanal Belanda di Antara "1000 Sungai" Julukan Kota Banjarmasin 

Salah satu jembatan ikonik di Kota Banjarmasin yang diyakini sebagai yang tertua di kota 1000 Sungai adalah Jembatan Dewi. Jembatan yang menghubungkan Pulau Tatas dengan kawasan Hulu Sungai, sekarang jalan Hasanuddin HM dengan jalan A. Yani ini diresmikan tahun 1914 di era pemerintahan residen CA Kroesen.

Pada 1935, jembatan yang lebih dikenal masyarakat saat itu dengan nama jembatan panjang atau jembatan Ulin, mungkin karena konstruksi jembatan ini memang dibuat dari kayu besi, direnovasi agar bisa dilewati kapal-kapal dengan ukuran yang lebih besar.

Awalnya, jembatan sepanjang hampir 100 meteran ini diberi nama Jembatan Coen yang diambil dari nama pemimpin Belanda, Jan Pieterzoon Coen.

Uniknya, bagian tengah Jembatan Coen ini didesain layaknya palang pintu portal yang bisa dibuka-tutup kapan saja, mengakomodir peran sungai Martapura saat itu yang memang menjadi jalur transportasi penting kawasan yang ditandai dengan lalu-lalangnya kapal-kapal berbagai ukuran di sepanjang alur sungai.

Jembatan
Jembatan "Ophaal Brug" terbuka di kanal  Bandjermasin Zuid-Borneo, antara tahun 1944-1955 | Tropen museum.

Karena bentuk dan fungsinya tersebut, secara resmi pemerintahan pendudukan Belanda menyebut Jembatan Coen sebagai Ophaal Brug atau jembatan ringkap menurut versi penyebutan masyarakat sekitar.

Di tahun 1942, sebelum meninggalkan Banjarmasin, atas perintah Bauke Jan Haga, Gubernur Borneo saat itu, Jembatan Coen atau jembatan Ulin ini diledakkan oleh pasukan Algemene Vemielings (AVC), militer Belanda, agar tidak bisa digunakan oleh siapapun, terutama Jepang yang segera datang untuk menjajah dan menguasai nusantara.

Baca Juga : Stigma "Rumah Setan" dalam Persinggungan Societeit de Kapel dengan Peradaban Urang Banjar di Masa Lalu

Agustus 1942 setelah pasukan Jepang datang dan menduduki Banjarmasin, jembatan Coen yang menjadi infrastruktur penting bagi mobilisasi pasukan pendudukan, diperbaiki oleh pasukan Jepang dan setelah selesai diberi nama baru menjadi Jembatan Yamato Bashi.

Ada sedikit perubahan pada spesifikasi Jembatan Yamato Bashi bila dibandingkan dengan Jembatan Coen, yaitu penambahan pada lebar jembatan dari 7 meter menjadi 8,6 meter dan juga penambahan fasilitas trotoar selebar 2 meter untuk pejalan kaki.

 Jembatan Dewi di atas Sungai Martapura | FB/M Syarif Rivani
 Jembatan Dewi di atas Sungai Martapura | FB/M Syarif Rivani

2 tahun berikutnya atau di tahun 1947, setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu dua tahun sebelumnya, pasca di bom atom oleh sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, maka Belanda yang bermaksud kembali menguasai Indonesia dan juga Banjarmasin, memilih memperbaiki sekaligus mengembalikan nama Jembatan Yamato Bashi menjadi Jembatan Coen sampai akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia di tahun 1949-1950.

Akhirnya, di tahun 1979 dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Jembatan Coen direnovasi dan diresmikan dengan nama baru, Jembatan Ahmad Yani. Tapi uniknya di masyarakat Kota Banjarmasin sendiri nama ini kurang populer dan mereka lebih mengenalinya sebagai Jembatan Dewi, karena keberadaan gedung Bioskop bernama Dewi yang dibangun di dekatnya, yaitu di sisi Pulau Tatas atau sekarang di ujung jalan Hasanuddin HM.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun