Karena bentuk dan fungsinya tersebut, secara resmi pemerintahan pendudukan Belanda menyebut Jembatan Coen sebagai Ophaal Brug atau jembatan ringkap menurut versi penyebutan masyarakat sekitar.
Di tahun 1942, sebelum meninggalkan Banjarmasin, atas perintah Bauke Jan Haga, Gubernur Borneo saat itu, Jembatan Coen atau jembatan Ulin ini diledakkan oleh pasukan Algemene Vemielings (AVC), militer Belanda, agar tidak bisa digunakan oleh siapapun, terutama Jepang yang segera datang untuk menjajah dan menguasai nusantara.
Agustus 1942 setelah pasukan Jepang datang dan menduduki Banjarmasin, jembatan Coen yang menjadi infrastruktur penting bagi mobilisasi pasukan pendudukan, diperbaiki oleh pasukan Jepang dan setelah selesai diberi nama baru menjadi Jembatan Yamato Bashi.
Ada sedikit perubahan pada spesifikasi Jembatan Yamato Bashi bila dibandingkan dengan Jembatan Coen, yaitu penambahan pada lebar jembatan dari 7 meter menjadi 8,6 meter dan juga penambahan fasilitas trotoar selebar 2 meter untuk pejalan kaki.
2 tahun berikutnya atau di tahun 1947, setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu dua tahun sebelumnya, pasca di bom atom oleh sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, maka Belanda yang bermaksud kembali menguasai Indonesia dan juga Banjarmasin, memilih memperbaiki sekaligus mengembalikan nama Jembatan Yamato Bashi menjadi Jembatan Coen sampai akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia di tahun 1949-1950.
Akhirnya, di tahun 1979 dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Jembatan Coen direnovasi dan diresmikan dengan nama baru, Jembatan Ahmad Yani. Tapi uniknya di masyarakat Kota Banjarmasin sendiri nama ini kurang populer dan mereka lebih mengenalinya sebagai Jembatan Dewi, karena keberadaan gedung Bioskop bernama Dewi yang dibangun di dekatnya, yaitu di sisi Pulau Tatas atau sekarang di ujung jalan Hasanuddin HM.
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!