Sasirangan merupakan kain tradisional kebanggaan Urang Banjar yang mempunyai kronik sejarah cukup panjang. Bermetamorfosis sejak berabad-abad silam dari kain lagundi, kain pamintan atau kain permintaan dalam kelengkapan tradisi batamba, pengobatan tradisional ala moyang Urang Banjar, hingga akhirnya "terlahir kembali" pada dekade 80-an setelah era pemerintahan Gubernur HM. Said menjadikannya sebagai seragam PNS dan juga seragam jamaah haji Kalimantan Selatan.
Booming kepopuleran sasirangan menemukan momentumnya setelah negara melalui Kemendikbud mengakuinya sebagai warisan budaya tak benda, spesifik pada kemahiran kerajinan tradisional pada 2013 dan sebagai bagian dari 33 wastra tradisional Indonesia yang wajib dilindungi dan dilestarikan pada 2017.
Nama sasirangan diambil dari kata sirang yang secara etimologi berarti lajur, dengan awalan"Sa" yang bermakna satu dan akhiran "an", jadilah sasirangan yang secara leksikal maksudnya satu lajur pada bagian kain yang disimpul/diikat dengan jahitan benang yang disisit atau ditarik sampai kainnya mengerut hingga membentuk gumpalan yang nantinya berfungsi sebagai perintang sekaligus pembentuk motif setelah dicelup dalam cairan pewarna. Ini yang unik!Â
Selain masih tradisional dan serba manual dengan mengandalkan keterampilan tangan, perintangan warna dengan jahitan yang disisit kuat-kuat sampai kain menggumpal, menjadikan hasil jadi kriya sasirangan layaknya hidden gem, "permata tersembunyi" yang tidak bisa langsung dilihat kecantikannya setelah rangkaian proses pembuatannya selesai, karena cantiknya sasirangan secara utuh baru bisa dilihat setelah simpul ikatan jelujurnya di buka!
Tidak hanya itu, proses manual pembuatan sasirangan menjadikan kriya kain sasirangan jauh lebih eksklusif dan spesial, karena antara kain satu dengan lainnya tidak ada yang benar-benar sama persis dan presisi, tapi hanya sekedar identik saja! Keren kan? Ini sebenarnya yang menjadikan nilai sasirangan "mahal" hingga membuat banyak orang jatuh hati!
Motif dan warna merupakan roh dari estetika sasirangan. Tapi uniknya, di sasirangan keduanya justru tidak mempunyai keterikatan khusus. Artinya, warna apa saja bisa dan boleh di pakai untuk membentuk motif apa saja pada kain. Ini yang menjadikan motif sasirangan tidak identik dengan warna tertentu saja, tapi bisa multi colour!
Motif-motif sasirangan yang terinspirasi dari kekayaan alam, tradisi dan budaya Suku Banjar, selain hiasan sarat makna yang mengandung pesan kearifan, juga sekaligus menjadi pembeda dengan kain-kain tradisional dari daerah lain yang cara pembuatannya relatif mirip, seperti jumputan dari Pulau Jawa ataupun shibori dari Jepang.
Ada 12 motif sasirangan yang telah diakui negara, melalui Dirjen Hak Kekayaan Intelektual-Kemenkumham, yaitu motif iris pudak, kulat karikit, turun dayang, bintang bahambur, ombak sinapur karang, daun jaruju, naga balimbur, kambang kacang, bayam raja, kambang tampuk manggis, jajumputan dan kangkung kaombakan.
Sasirangan masih terus bermetamorfosis! Lahirnya "varian" sasirangan bordir yang mengawinkan sasirangan dengan seni bordir di sela-sela motif-motif baru yang terus bermunculan, menjadi angin segar bagi pelestarian sekaligus diversifikasi produk sasirangan.Â
Sementara itu, antusiasme perajin sasirangan untuk back to nature, kembali memanfaatkan bahan pewarna alam, merupakan langkah cerdas dan strategis guna terbebas dari bahaya pewarna sintetis pemicu kanker juga pencemar lingkungan yang berbahaya untuk kehidupan, seperti naphtol, direct, rapid, procion, remasol dan indogosol.Â
Sebagai gantinya, sekarang perajin sasirangan mulai biasa menggunakan bahan pewarna alam, seperti kayu secang (merah), daun mangga (kuning), indigofera (biru), kesumba Keling (oranye), daun Kabuau (hitam), kayu Ulin (cokelat) dan banyak lagi yang lainnya. Selain mudah didapat bahan-bahan pewarna alam ini, harganya juga relatif ekonomis.Â
Memang, proses pewarnaan sasirangan dengan bahan alam ini, tahapannya sedikit lebih panjang, tapi hasil jadi kainnya yang cenderung soft dan tahan lama, luar biasa eksotis dan pastinya akan lebih mudah diterima pasar dunia yang sebagian besar memang telah melarang perdagangan tekstil dengan pewarna sintetis.
Sasirangan "ramah lingkungan" merupakan komoditas perdagangan yang sangat menjanjikan secara ekonomi sekaligus solusi berkelanjutan untuk kehidupan di masa depan.
Teraktual, "diversifikasi" sasirangan sebenarnya tidak hanya sebatas pada motif yang semakin beragam, pilihan bahan pewarnaan yang semakin beragam dan ramah lingkungan semata, tapi juga semakin beragamnya kriya kreatif berbahan dasar dari kain sasirangan, sebut saja topi, kopiah, tas, sendal, sepatu, cover wadah tisu, galon dan banyak lagi yang lainnya.Â
Bahkan, di beberapa kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan sudah banyak instansi yang menjadikan sasirangan sebagai penghias interior yang estetis, seperti untuk ruang kantor, kelas, ruang rapat atupun gedung olahraga.
Sedangkan untuk eksterior bisa ditemukan di berbagai bangunan fasilitas umum dan ruang publik terbuka hijau, termasuk pasar, jembatan, pagar, bahkan pohon dan juga mobil dinas.Â
Untuk pembahasan diversifikasi sasirangan ini lebih lengkap, silakan membaca artikel berjudul Cara Kreatif Urang Banjar Melestarikan Sasirangan berikut.
Khusus untuk yang terakhir, tentu sasirangan yang dimaksud bukan lagi sasirangan dalam arti dan makna yang sebenarnya sebagai sebuah proses yang memang hanya bisa dilakukan pada selembar kain, tapi di sini makna sasirangan sudah bergeser hanya sekedar sebagai motif.Â
Tapi, kalau sudah begitu apa iya masih bisa di sebut sebagai Sasirangan? Bagaimana menurut anda!?
***
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H