Nama Stasiun Barat atau orang di kampung saya biasa menyebutnya sebagai Stasiun Mbarat, Â stasiun kecil kelas 3 yang terletak diantara Stasiun Besar Madiun dan Stasiun Geneng (Ngawi), sepertinya tidak begitu populer bagi masyarakat Nusantara, terkecuali mungkin bagi para pelancong dan penikmat transportasi kereta api yang sering lalu lalang di seputaran DAOP 7 Madiun, Jawa Timur.
Tapi siapa sangka, stasiun kereta api bersejarah yang dibangun Belanda tepat di tengah-tengah kampung halaman tempat saya lahir dan dibesarkan tersebut, ternyata mempunyai peran sejarah cukup penting dalam konstelasi pertempuran perang Pasifik/Perang Asia Pasifik atau masyarakat Jepang lebih mengenalnya sebagai Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) tahun 1937-1945 yang berakhir dengan luluh lantaknya bumi Hiroshima dan Nagasaki.
Penasaran dengan keterlibatan stasiun kecil yang pernah menjadi tempat bermain saya waktu bocah ini dalam perang Pasifik yang akhirnya menyeret Amerika ke dalam Perang Dunia ke-2, setelah Pearl Harbour dan koloni sekutu di sekitarnya dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941? Yuk duduk manis dan simak artikelnya sampai habis ya!
Nama Barat atau Mbarat yang menempel pada nama Stasiun ini sampai sekarang sebenarnya masih menjadi misteri. Karena kosakata Barat ini tidak terafiliasi kepada nama dan istilah apapun yang berlaku di sekitar stasiun, kecuali kosakata Barat dalam beberapa tradisi lesan di kampung kami yang berarti angin.
Baca Juga : Â "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun
Memang, sejak tahun 2000 nama Barat juga diabadikan menjadi nama kecamatan baru di wilayah kami sebagai hasil pemekaran kecamatan sebelumnya. Tapi tetap saja belum ada literatur rujukan yang bisa menjelaskan secara definitif sejarah asal-usul nama Barat ini. It's Ok, kita kembali ke Stasiun Barat aja ya!
Stasiun Barat Tempo Dulu
Stasiun Barat diyakini dibangun oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api pemerintahan Hindia Belanda, sepaket dengan pembangunan jalur rel kereta api yang menghubungkan Madiun-Paron (sekarang Stasiun Ngawi)-Sragen-Solo Balapan sejauh sekitar 97 km yang dibangun pada 1883-1884 dan direnovasi pada era 1930-an karena semakin padatnya aktifitas.
Kepadatan aktifitas dimaksud tidak lepas dari semakin sibuknya operasional pengangkutan bahan baku tebu dan hasil produksi gula dari PG Poerwodadie, pabrik gula yang dibangun tahun 1832 berjarak sekitar 5 km dari Stasiun Barat milik  Nederlandsche Handel Maatschapij (NHM).