Sudah betul si-Budi, akhirnya sekolah di SMA umum dan mengambil jurusan IPA atau dalam konteks sekarang memilih pelajaran khusus  berbasis eksakta, bukan sosial atau budaya dan Alhamdulillah hasil belajar Budi progresnya sangat bagus. Bahkan nilai hasil belajar Si-Budi menjadi yang terbaik di kelas dan di sekolah, hingga mendapat privilese bisa masuk  jurusan teknik mesin pesawat di beberapa  perguruan tinggi favorit.
Sayang seribu kali sayang, saat pemeriksaan kesehatan di Universitas top yang menerimanya menjadi mahasiswa teknik mesin pesawat tanpa tes, ternyata Budi dinyatakan menyandang kelainan buta warna (carier dari jalur ibu atau dapat warisan buta warna dari jalur ibu), sehingga mau tidak mau, siap tidak siap, Budi dinyatakan tidak dapat melanjutkan pendidikannya di fakultas teknik mesin pesawat dan hanya diberi 2 opsi, melanjutkan kuliah di universitas yang sama tanpa tes, tapi wajib "banting stir" ke jurusan non eksakta alias ilmu sosial atau tidak melanjutkan perkuliahan sama sekali.Â
Kira-kira, seandainya anda di posisi si-Budi saat itu, Â bagaimana perasaan anda dan kira-kira opsi mana yang anda pilih!?
Wajar jika saat tu si-Budi kecewa berat! Coba bayangkan, cita-cita yang sudah dibangun dan diperjuangkan sepenuh hati sejak lama, mimpi indah yang bara spiritnya selalu  dijaga sepanjang waktu, saat itu harus diakhiri justru ketika sebelah kaki si-Budi sudah menapaknya. Terlebih, semuanya harus berakhir oleh sebab musabab yang saat itu, si-Budi tidak begitu memahami hal ihwal-nya….buta warna!
Kalau memang "status tidak buta warna" menjadi persyaratan Wajib dan mutlak di berbagai pendidikan dan juga pekerjaan berbasis ilmu eksak, kenapa sejak awal atau sejak dini tidak ada informasi tentang seluk beluk buta warna yang memadai berikut anjuran atau bahkan peringatan untuk melakukan tes sejak dini!? Bukankah ini sangat ironis?
Coba bayangkan, seandainya dari seluruh Indonesia setiap tahunnya ada 1000 siswa-siswa berprestasi tapi mempunyai profil khusus seperti si-Budi dan salah memilih cita-cita karena terlambat mengetahui dan menyadari kekhususan nya, betapa ruginya Indonesia!
Seandainya sejak awal si-Budi mengetahui dirinya menyandang buta warna, tentu dia "tahu diri" untuk tidak memaksakan diri membangun dan menggantungkan cita-cita setinggi langit, menjadi teknisi pesawat. Karena memang sudah pasti tidak akan pernah bisa, sebab kelainan buta warna tidak bisa disembuhkan, kecuali kelak ada teknologi yang bisa melakukannya, entah dengan kacamata tertentu atau yang lainnya!Â
Selain itu, seandainya ada mekanisme tes buta warna  sejak dini dan si-Budi terdeteksi menyanang buta warna, tentu resiko tersesat perjalanan hidupnya karena salah memilih cita-cita bisa dihindari sedini mungkin juga, karena cita-citanya bisa segera diganti dengan cita-cita lain yang  sesuai profil dan potensi diri, minat, juga kemampuan si-Budi, sehingga energinya juga lebih berdayaguna untuk mengejar cita-cita yang roadmap-nya lebih riil,  bukan yang masih kira-kira.
Mencermati begitu krusialnya peran tes buta warna sejak dini dalam proses perencanaan kependidikan seluruh anak bangsa dan relevansinya yang begitu dekat dan kuat dengan visi dan misi pembelajaran berdiferensiasi, secara khusus dan program merdeka belajar secara umum, sepertinya akan menjadi sangat bermanfaat bagi semua stakeholder kependidikan, jika momentum semarak Merdeka belajar saat ini, tes buta warna sejak dini menjadi bagian tak terpisahkan dari program merdeka belajar, atau setidaknya masuk dalam bagian dari kampanye semarak Merdeka belajar! Â