Kabar Bahagia!
Selepas Isya' di suatu hari di penghujung 2015, saya dikejutkan bunyi dering panggilan handphone dari nomor asing yang tidak saya kenal.Â
Alhamdulillah, ternyata kabar baik dari official lomba menulis KemenPUPR-Kompasiana yang mengabarkan kemenangan sekaligus mengkonfirmasi kesiapan saya terbang ke Denpasar-Bali untuk menerima hadiahnya sekaligus menghadiri puncak acara peringatan Hari Habitat Sedunia yang saat itu mengambil tema sentral "ruang publik untuk semua" yang juga menjadi tema utama lomba menulisnya.Â
Uniknya, saat itu official belum membocorkan komposisi urutan pemenang lomba ini, jadi pengumuman urutannya sekaligus waktu penyerahan hadiah di puncak acara. Hmmmm...Ada saja cara panitia bikin penasaran!?
Dua hari sebelum keberangkatan, e-tiket Banjarmasin-Denpasar untuk pergi-pulang sudah ada ditangan. Hanya saja, setelah memperhatikan jam terbangnya, saya baru ngeh kalau perjalanan ke Bali kali ini perlu effort lebih, sangat berbeda dengan yang dulu-dulu!Â
Apa itu!?Â
Tepat Jumat siang tanggal 9 Oktober 2015 jam 12.15 WITA, akhirnya saya terbang ke Bali, melalui Bandar Udara Syamsoedin Noor, Banjarmasin dengan kelas bisnis, Garuda Indonesia. Asyik kan!? Tapi (sayangnya) penerbangan ini bukan direct flight ke Denpasar lho, melainkan harus transit dulu di Bandar udara Adi Sucipto, Yogyakarta. Nah ini dia yang ngeri-ngeri sedap! Soalnya saya harus nungguin pesawat Garuda yang mengangkut saya ke Denpasar lebih dari 4 jam!Â
Bersyukurnya, saya nggak jadi mati gaya gara-gara transit 4 jam di Jogja. Alhamdulillah, di kota yang sarat kenangan ini, saya kembali berhasil mengaktifkan lagi fitur GPS alias "Gunakan Penduduk Setempat" untuk mengeksplornya.  Dari koordinasi sebelum saya terbang, saya berhasil mengumpulkan beberapa teman lama  yang menetap di Jogja untuk bernostalgia, berkeliling Jogja sambil kulineran menu-menu legendaris di beberapa tempat yang juga legendaris, terutama menu-menu berkuah kaldu kesukaan saya!Â
Baca Juga : Â [Oleh-oleh dari Bali #1 ] Melihat Pameran Karya Bloger "Terpilih" Kompasiana-HHD 2015
Dan memang terbukti, silaturahmi yang tulus ke banyak teman itu menjadikan rejeki yang tak terputus! Gak percaya!? Lha wong saya sudah membuktikan kok. Saya yang awalnya kepingin nraktir sahabat-sahabat lama yang hampir dua dekade nggak bertemu dengan makan sate-gule kambing kesukaan saya sampai puas, eeeeh ujung-ujungnya lha kok malah saya yang ditraktir. Terima kasih dulur-dulur di Jogja!
Setelah puas menikmati otentiknya Jogja yang masih saja seperti dulu, relatif masih identik dengan yang dinarasikan Kla Project beberapa dekade silam dalam lirik lagu Jogjakarta, tepat pukul 16.15 WIB akhirnya saya terbang juga ke Denpasar.Â
Bali, Kami Datang!
Setelah mengudara kira-kira selama satu jam setengah, akhirnya pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara I Gusti Ngurah Rai saat matahari baru saja kembali ke peraduannya,Â
Ini pertama kali saya ke Bali dengan pesawat terbang, saat masih kuliah di Kota Tembakau, salah satu kota di ujung timur Jawa Timur era 90-an, saya pernah Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Denpasar dan setelahnya pernah juga "motoran mbambung" alias berkelana keliling Bali beberapa hari sama teman-teman dengan modal seadanya.
Sudah saya duga, banyak sekali notif call dan juga pesan via WA maupun SMS yang masuk ke handphone saya yang baru saja aktif sesaat setelah shalat Maghrib di praying room alias mushalla yang tidak jauh dari pintu keluar penumpang. Semua menanyakan hal yang sama, "sudah sampai mana mas?"
Oya! Diluar ekspektasi, saya sangat terkesan dengan tempat shalat yang saya pakai untuk maghriban, tidak hanya lokasinya yang strategis dan relatif cukup luas, tapi sepertinya perawatan dan pemeliharaan yang maksimal menjadikan mushalla ini sangat representatif untuk shalat, bersih dan harumnya bikin shalat semakin kusyuk.
Uniknya, di pintu keluar bandara yang suasananya saat itu agak remang-remang, saya sama sekali tidak melihat adanya taksi bandara, layaknya di bandara-bandara lainnya. Hanya ada beberapa "taksi tanpa nama" yang kompak menawarkan jasanya kepada saya. Jujur, awalnya saya sangat insecure mendapati situasi ini. Beruntungnya, disaat genting itu panitia menghubungi saya lagi dan meyakinkan saya agar segera meluncur ke Wisma Werdhapura di jalan Danau Tamblingan, Sanur tempat acara dengan  "taksi tanpa nama" tersebut dan diminta jangan lupa meminta kwitansi untuk di reimburst nantinya, karena beberapa saat lagi acara dimulai dan acara saya termasuk dalam segmen acara awal.
Setelah tawar menawar harga deal, kita langsung tancap gas. Agar lebih cepat, kita harus naik tol yang diatas laut, ini mah keren banget! Karena kalau jalan reguler biasa macet dan saya pasti tidak akan bisa menghadiri acara sesuai jadwal. Uniknya, ditengah-tengah jalan reminder shalat Isya' dari handphone saya, berupa kumandang Azan berbunyi dengan lantangnya, tiba-tiba Bli supir menawarkan untuk mengantar saya ke masjid dulu untuk shalat Isya' di masjid. Luar biasa Bli supir ini! Sayang saya lupa namanya Bli supir ini.
Ketika sampai di area Wisma Werdhapura, saya sudah ditunggu panitia di pintu gerbang yang jaraknya hampir sekilo dari pangung utama dan dari titik ini juga, taksi dan kendaraan apapun memang tidak boleh masuk lagi. Â Setelah diajak ke ruangan, "Maaf bapak, karena acara untuk bapak sebentar lagi, sebaiknya bapak tak usah mandi ya pak dan langsung pakai baju batiknya saja!" Â Waduh...he...he...he...
Bener juga, setelah diantar ke area panggung utama yang sudah dipenuhi tamu undangan sampai level menteri, belum sempat saya duduk di kursi tempat para pemenang dari beberapa lomba yang diadakan pada even ini berkumpul, saya sudah dipanggil naik ke panggung untuk menerima hadiah lomba, menyusul Kang Ali Muakhir yang telah dipanggil naik kepanggung lebih dulu. Alhamdulillah!
Sekali Lagi Gunakan GPS!
Setelah acara selesai, sekitar jam 10-an WITA, sepertinya banyak tamu undangan yang langsung masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat, tapi tidak dengan saya! Singkatnya "menit bermain" saya di Bali kali ini, mengharuskan saya memutar otak agar bisa memaksimalkan waktu di Bali untuk menambah wawasan baru dan terbaru, pilihan terbaik akhirnya kembali  mengaktifkan GPS alias  Gunakan Penduduk Setempat he...he...he...!
Kebetulan, ada Ustad Imam Tumaji, sahabat saya yang dulu pernah PKL bareng di Hotel Natour  (sekarang Hotel Indonesia) Bali tahun 1997, sekarang sudah menjadi orang Bali dan siap menjadi guide saya menghabiskan "menit bermain" di Bali yang tinggal beberapa jam saja. Sekitar jam 23.00 WITA sampai lepas tengah malam, beliau mengajak saya berkeliling Kota Denpasar, khususnya titik-titik landmark kebanggan Kota berjuluk Parijs Van Bally ini, termasuk hotel tempat kita PKL, rumah beliau sekarang dan tempat makan tengah malam yang sayangnya saya lupa namanya. Kerennya, beliau juga menjelaskan banyak hal terkait berbagai landmark yang juga menjadi spot-spot pariwisata Kota Denpasar.
Paginya, sebelum saya, Kang Ali Muakhir dan Martino (pemenang lomba blog) berangkat sarapan di resto tepian pantai Sanur, sahabat saya Ustad Imam Tumaji sudah hadir di kamar saya dengan membawa "pesanan spesial" saya, setumpuk koran lokal Bali, fresh terbitan hari itu yang bakal masuk lemari koleksi saya. Â Akhirnya, kami berempat sama-sama berangkat untuk sarapan aneka kuliner Bali di resto sambil menyusun roadmap detik-detik terakhir perjalanan di Bali ditemani sunrise mentari yang luar biasa indah! Bisakan ngebayangin indahnya?
Setelah beberapa saat sempat menikmati fragmentasi pagi di Pantai Sanur yang sarat pesona, kami akhirnya beraudiensi dengan pihak KemenPUPR, sekaligus menyelesaikan berbagai administrasi dengan official untuk berbagai keperluan, termasuk hadiah, uang saku dan pernak-pernik lainnya sampai sekitar jam 10.00 WITA. Pesawat saya ke Banjarmasin transit Surabaya terbang jam 12.50 WITA, artinya masih ada space waktu hampir 2 jam untuk kembali mengeksplor Kota Denpasar, khususnya untuk mencari buah tangan buat keluarga di rumah, karena sejam sebelum take off saya harus sudah boarding.
Inilah fungsi "GPS" yang paling nyata! Tidak hanya bisa memaksimalkan waktu yang sangat terbatas untuk menemukan titik-titik untuk mendapatkan buah tangan terbaik bagi keluarga, seperti di pusat oleh-oleh Erlangga 2 dan Krisna di Jl. Nusa Kambangan, juga di JOGER, tapi juga memahami etika saat harus bertemu dengan berbagai kearifan lokal yang memang harus dihormati, seperti saat kami melewati salah satu ruas jalan (kalau tidak salah namanya jalan Tukad Bilah) yang saat itu banyak dijaga oleh pecalang, sementara sebagian lainnya mengatur lalu lintas, karena ada iring-iringan warga sepanjang 500-an meter yang menurut Ustad Imam Tumaji sedang mempersiapkan upacara ngaben, saat itu beliau memelankan laju kendaraanya yang tadinya ngebut.
Sayangnya, hari itu pas weekend, jalanan dan pusat oleh-oleh penuh pengunjung dan waktu hampir 2 jam yang kami miliki sepertinya nggak cukup. Benar juga, jam 12 lebih sedikit WITA kami baru bisa meluncur ke Bandara dan 15 menit berikutnya baru sampai di parkiran bandara, Ah bisa terlambat kita!Â
Nyali saya semakin menciut ketika mengetahui lokasi booarding masih sekitar sekiloan lagi dari lokasi parkir dan harus jalan kaki. Alamaaaaaak! Â Akhirnya Ustad Imam Tumaji langsung mengangkat barang oleh-oleh yang baru saja kita beli dan berteriak "lari......!"Â Saya yang terkaget-kaget spontan mengikuti larinya bapak 4 anak yang terlihat masih gesit itu sampai di pintu masuk yang melarang selain penumpang untuk masuk. Disini juga, akhirnya saya kembali berpisah dengan Ustad Imam Tumaji, sahabat yang hampir dua dekade atau selepas lulus kuliah tidak pernah bersua.
Setelah menemukan konter  boarding, betapa terkejutnya saya! Ya Allah, Alhamdulillah! Ternyata, pesawat yang akan membawa saya pulang ke Banjarmasin, transit Surabaya telat datang alias delay satu jam.Â
Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H