Beberapa hari yang lalu, saya dan keluarga berkesempatan mengantarkan kakak ipar istri saya ke Bandara Syamsoedin Noor, Banjabaru, menjemput suaminya yang tidak lain adalah kakaknya istri saya yang baru saja pulang dari dinas luar kota ke Medan, Sumatera Utara.
Sayang, senja hari saat berangkat menuju ke bandara internasional yang baru saja mengoperasikan infrastruktur bangunan baru  yang jauh lebih luas dan modern tersebut, cuaca sedang tidak baik-baik saja. Selain langit yang tampak menghitam dan hujan yang cukup deras, angin juga berhembus cukup kencang dengan arah yang berubah-ubah, hingga turunnya air hujan menjadi tidak beraturan dan menyebabkan jarak pandang di sepanjang jalan Ahmad Yani yang kami lalui menjadi sangat terbatas.Â
Tidak mau mengambil resiko, selain jam kedatangan suami kakak ipar istri saya juga masih lama, bahkan kalau melihat cuaca langit Kota Banjarbaru yang lumayan ekstrim, bisa jadi pendaratannya malah dialihkan ke bandara terdekat, bisa ke Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan atau Bandara Tjilik Riwut di Kota Cantik Palangkaraya, Kalimantan Tengah, makanya kakak ipar istri saya mengajak kita "berteduh" di kedai bakso langganan beliau, salah satu kedai bakso legendaris di Landasan Ulin, Banjarbaru yang juga tidak jauh dari bandara, Warung Bakso Haji Kasdi yang telah ada sejak tahun 1977.
Baca Juga : Â "Bebek Hungang" dan Uniknya Stratifikasi Level Kebodohan pada Bahasa BanjarÂ
Saat rombongan kami memasuki kedai bakso yang lokasinya cukup unik dan tidak biasa ini, tidak sengaja kami bertemu dengan budayawan Banjar yang juga penulis senior dan juga deklarator KOMBATAN alias  Kompasianer Banua Kalimantan Selatan,  Zulfaisal Putra bersama kolega tengah menikmati sajian bakso legendaris  Haji Kasdi  di ujung ruangan.
Setelah saling menyapa dan sempat ngobrol sebentar, Pak Zul begitu saya biasa menyapa beliau, tampak sedikit terkejut ketika melihat dalam rombongan saya ada kakak ipar istri saya, pemilik hajat perjalanan sore ini. Usut punya usut, ternyata kakak ipar istri saya ini teman seangkatan Pak Zul saat belajar di kampus dulu.
"Siapa ikam (kamu ; Bhs Banjar) Iyul tu?" Tanya Pak Zul yang maknanya, "ada hubungan apa kamu sama Iyul?"
"Kakak ipar istri saya"Â Jawab saya sambil duduk di bangku panjang, tepat di samping Sidin.
"Oh Miruay kah!" Kata Pak Zul lagi sambil mengaduk-aduk bakso dihadapannya.
"Miruay!?"Â Balas saya ke Pak Zul.
"Miruay" atau ada juga sebagian yang melafalkannya  "Maruay" itu, hubungan kekeluargaan antara ikam sama Iyul yang dihubungkan oleh posisi yang sama-sama sebagai menantu." Jawab Pak Zul.
"Waaaah unik ya kosakata Banjar yang satu ini! Selain mirip-mirip kosakata bahasa Jepang, kosakata ini juga spesifik banget lho! Sepertinya nggak ada lho yang maknanya sama di bahasa Jawa dan bahasa Indonesia (bahasa ibu saya), bahkan bisa jadi di bahasa Inggris juga!?" Respon saya begitu mendengar penjelasan Pak Zul.
"Pinanya iya!" (Sepertinya iya ; Bhs Banjar)Â Jawab Pak Zul sambil tersenyum.
Baca Juga :Â Mengenal "Sidin dan Marina", Sosok Populer dalam Bahasa Ibu Urang Banjar
Memang sih, kosakata miruay atau maruay ini menurut saya sangat unik. Secara fonetik mirip-mirip dengan kosakata bahasa Jepang kan!? Selain itu, saya juga belum menemukan kosakata yang mempunyai makna sama di bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibu saya.
Bagaimana dengan bahasa daerah lain di seluruh pelosok nusantara ya!? Kira-kira apa ya padan kata alias kembaran miruay ini di berbagai bahasa daerah di seluruh pelosok Nusantara!? Kalau memang ada, tolong kabari saya via komentar di bawah ya...! Terima kasih.
Mari kita jaga dan terus lestarikan bahasa daerah kita masing-masing.Â
Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H