Dalam perjalanan dari Kota Banjarmasin menuju ke Kota Pelaihari yang berjarak sekitar 60 km yang masih masuk kawasan dataran rendah, kita akan banyak disuguhi ekosistem lahan rawa berupa padang ilalang rawa dan hutan pohon galam/gelam (Melaleuca cajuputi) yang juga menjadi habitat beragam biota air tawar.
Selepas dari Kota Pelaihari, menuju kawasan Tanjung Selatan, Panyipatan kita mulai memasuki dataran agak tinggi. Disini kita akan melewati jalur jalan raya beraspal mulus, dengan kontur unik naik-turun bukit dengan view hutan dan perkebunan rakyat yang hijau segar.
Meskipun kontur naik turunnya jalanan tidak terlalu ekstrem, tapi sepinya lalu lintas dan mulusnya jalanan jangan sampai membuat pengemudi lepas kontrol hingga menginjak pedal gas dalam-dalam, selain berbahaya apalagi memasuki kemarau basah seperti saat ini, pemandangan disepanjang jalan yang menawan sayang untuk dilewatkan.
Di sepanjang jalan, selain beberapa kali bertemu dengan perkampungan yang sebagian besar  merupakan kampung transmigrasi dari Pulau Jawa, kita juga akan bertemu dengan kawasan hutan dan juga lahan pertanian, peternakan dan beberapa jenis perkebunan rakyat seperti karet, kelapa sawit dan lain-lainnya.
Karena pernah menjadi tujuan transmigrasi terbesar di Pulau Kalimantan, kawasan ini juga dikenal sebagai salah satu daerah dengan penduduk keturunan suku Jawa terbanyak di Kalimantan Selatan. Makanya, berada disini justeru serasa berada di kampung-kampung di Jawa Tengah atau Jawa Timur.Â
Baca Juga : Â Mengenal Entitas Budaya "Jawa Gambut" di Kalimantan SelatanÂ
Tidak hanya layout perkampung-nya yang lebih mirip kampung-kampung di Jawa, seni, tradisi dan budaya yang berkembang di sini juga lebih dekat dengan tradisi budaya Jawa, termasuk bahasa ibu yang dipakai.Â
Memang, meskipun sebagian besar diantara mereka merupakan generasi ke-3 yang lahir dan besar di "Bumi Tuntung Pandang" julukan Kabupaten Tanah Laut dan belum pernah sekalipun menginjak tanah leluhur mereka di Pulau Jawa, mereka mengaku tetap berusaha mempertahankan budaya Jawa sebagai tatanan kehidupan mereka, walaupun mereka tetap menerima bentuk-bentuk akulturasi dengan budaya lokal sebagai bentuk aplikasi dari falsafah "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung". Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!