Film Religi atau ada yang menyebutnya sebagai FIBI atau film Indonesia bertema Islam sudah sejak lama hadir di bioskop-bioskop menghibur penikmatnya di Indonesia, walaupun mungkin sebagai "genre" film, relatif baru belakangan ini tren dan gaungnya mulai santer terdengar, terutama sejak film Ayat-ayat Cinta (2008) berhasil mencuri perhatian masyarakat Nusantara.
Kehadiran tren film religi yang mengusung beragam tematik kehidupan sosial dan budaya Indonesia yang egaliter terkait sejarah, keluarga, pendidikan, bahkan juga percintaan yang sarat pesan moral berbasis keIslaman jelas bermanfaat bagi diplomasi Islam untuk membumikan jatidirinya yang rahmatan Lil Alamin.Â
Tidak hanya sekedar menghibur dengan beragam drama dan konflik yang dihadirkan dalam alur cerita, tapi dalam perjalanannya yang semakin berbobot, film religi hadir lebih aktual dengan potret faktual yang Indonesia banget. Disadari atau tidak, situasi ini jelas bermanfaat  untuk membantu mereduksi bentuk-bentuk "kegagalan komunikasi" antar masyarakat Nusantara yang dari sono-nya memang heterogen, khususnya terkait SARA.
Baca Juga : Â Merindu Ramadan, "Kurikulum Langit" Penuntun Fitrah Manusia
Pasca kemerdekaan, film-film yang digagas oleh Lesbumi atau  Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, sebuah lembaga seni-budaya yang dibesarkan oleh NU, terus berusaha menghadirkan film-film bernuansa Islam melalui pendekar-pendekar perfilman ternama saat itu, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaluddin Malik dan juga Chaerul Umam.
Di tengah-tengah, situasi politik yang relatif belum stabil akibat benturan ideologi antar partai dan juga golongan yang begitu keras, hadirnya film-film bernuansa humanis-religius, seperti Tauhid (1964), Para Perintis Kemerdekaan (1977),  Al Kautsar (1977), hingga Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) sengaja dilahirkan, awalnya guna head to head dengan ideologi komunis yang secara massif dan agresif terus menyebarkan faham dan ideologi nya.
Di awal 90-an duet Asrul Sani dan Chaerul Umam kembali melahirkan film religi berjudul Nada dan Dakwah (1991) yang dibintangi oleh Rhoma Irama, Deddy Mizwar, KH. Zainuddin MZ, Ida Iasha dll. Memang ada perubahan tema dan sudut pandang religiusitas yang di bidik film ini jika dibanding dengan film-film religi sebelumnya.
Film ini menjadi luar biasa, tidak hanya karena hadirnya unsur musikalitas khas film-film Rhoma Irama si Raja dangdut, tapi juga  karena mengusung tema baru yang cukup progressif di jamannya dan termasuk berani jika melihat waktu rilisnya saat itu.  Bercerita tentang konflik kapitalisme dalam konteks konflik agraria di era rezim otoriter orde baru jelas bukan hal yang biasa bukan!?
Baca Juga :Â Romansa "Anak-anak Langgar" 80-an Menghidupkan Ramadan
Memasuki milenium baru, atau tepatnya di tahun 2008, era baru film religi Indonesia menemui momentumnya dan booming, ketika film Ayat-ayat Cinta, sebuah film religi yang diangkat dari novel best seller karya Kang Abik alias Habiburrahman El shirazy dengan judul sama yang terbit 2003, benar-benar mencuri hati penikmat film religi di Nusantara.
Disusul film-film laris semacam Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, Perempuan Berkalung sorban, Surga yang Tak Dirindukan, Mencari Hilal dan lain-lainnya, film religi di era 2000-an juga menampilkan perubahan sudut pandang religiusitasnya. Tidak lagi menampilkan wajah Islam secara sosial, global dan kolektif, tapi lebih detail dan menjurus ke konflik-konflik yang bersifat lebih pribadi seperti percintaan, gaya hidup, relationship, motivasi, gender dan lain sebaginya.
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H