Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Pencerekenan", Warisan Tuha Tradisi Berdagang Urang Banjar yang Semakin Terpinggirkan

26 November 2024   16:56 Diperbarui: 26 November 2024   18:48 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Urang Banjar atau Orang Banjar, sejak berabad-abad silam telah dikenal sebagai suku perantau selayaknya suku-suku pesisir di nusantara pada umumnya, hingga merantau atau dalam bahasa Banjar dikenal sebagai madam, menjadi budaya yang tetap aktual sampai saat ini, khususnya sebagai bentuk aktualisasinya dalam rangka menuntut ilmu, dakwah dan berdagang.

Salah satu bukti otentik dari hipotesis ini adalah hasil dari riset kolaboratif internasional yang berhasil mengidentifikasi Urang Banjar sebagai nenek moyang dari masyarakat Komoro dan Madagaskar di Afrika Timur berdasar riset linguistik, arkeologis dan juga genetik.

Warung Pencerekenan. (@kaekaha)
Warung Pencerekenan. (@kaekaha)

Menariknya, kedatangan Urang Banjar ke Afrika Timur setelah berlayar menyeberangi Samudera Hindia dan mengkolonisasi Kepulauan Komoro dan Madagaskar, sejauh lebih dari 7.000 kilometer sejak abad ke-6 hingga ke-13 itu juga tidak jauh-jauh dari urusan perniagaan atau perdagangan.

Baca juga Yuk! Icip-icip Sedapnya Oseng Parutan Iwak Haruan

Untuk membaca lebih detail terkait hasil penelitian di atas, silakan baca artikel berjudul "Kisah Suku Banjar Menjadi Leluhur Orang Madagaskar dan Komoro" di laman National Geographic Indonesia, sedangkan untuk tradisi madam alias budaya merantau ala Urang Banjar, pernah saya ulas dalam artikel berjudul Kisah "Madam", Memahami Tradisi Merantau Urang Banjar ke Berbagai Penjuru Dunia. Silakan klik pada link aktifnya kalau penasaran dengan informasinya!

Warung Pencerekenan | @kaekaha
Warung Pencerekenan | @kaekaha
Jiwa dagang yang melekat pada Urang Banjar, tentu saja tidak semuanya menelorkan saudagar-saudagar kaya yang bergelut dengan perdagangan skala besar antar pulau, antar negara bahkan antar benua, tapi juga melahirkan pedagang-pedagang yang lebih memilih "bermain" di level lokal atau skala yang lebih kecil karena berbagai alasan.

Salah satu jejak pedagang-pedagang di level ini, sampai sekarang masih bisa kita lihat sebagai usaha perdagangan masyarakat yang di seputaran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! dikenal sebagai pencerekenan atau versi lainnya pancarekenan dan lebih lengkapnya warung pencerekenan.

Kosakata pencerekenan berikut grafis penulisannya seperti itu, lazim kita dapati dalam percakapan sehari-hari maupun dalam artikel-artikel tentang budaya Banjar.

Kosakata pencerekenan diperkirakan diadopsi dari kata rekenen, sebuah kosakata dalam Bahasa Belanda yang maknanya adalah menghitung. Di dalam Bahasa Indonesia, dari KBBI ditemukan kata reken atau mereken yang berarti menghitung; memperhitungkan; memperkirakan.

Puncarekenan | @kaekaha
Puncarekenan | @kaekaha

Sedangkan dalam bahasa Jawa (Timuran), khususnya dialek Suroboyoan juga ada istilah reken yang maknanya memang agak beda, yaitu memperhatikan. Tapi kalau dirasa-rasa, keduanya sih masih ada benang merahnya ya, memperhitungkan-memperhatikan!

Uniknya, di dalam kamus Bahasa Banjar (pasif) karya Prof. Dr. H. Abdul Djebar Hapip, MA, Guru Besar Bahasa dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, saya tidak menemukan kosakata pencerekenan ataupun pancarekenan dalam daftar katanya.

Baca Juga Yuk! Kelezatan Kupang Lontong di Antara Persahabatan "Orang-orang Pabrik"

Tapi memang ada kosakata yang identik baik secara fonetis maupun grafis bahkan juga arti dan maknanya, yaitu puncarekenan yang diartikan sebagai barang makanan sehari-hari dan jika ditambahkan dengan kata warung di depannya, tentu maknanya sebagai warung yang menjual barang makanan sehari-hari atau kita kenal sebagai sembako.

Warung Pencerekenan | @kaekaha
Warung Pencerekenan | @kaekaha

Menurut laman resmi Kesultanan Banjar, Dokumentasi tertua warung pencerekenan masyarakat di seputaran Kota Banjarmasin datang dari masa kolonial Belanda di awal tahun 1900-an. Meskipun tidak sebanyak sekarang, pada awal tahun 1900-an sudah ada beberapa warung atau mungkin toko pancarekenan di Kota Banjarmasin.
Warung atau mungkin toko pancarekenan dengan "ukuran" beragam itu sebagian besar berada di lingkungan Pasar Sudimampir di tepian Sungai Martapura, tepat di jantung Kota Banjarmasin. Saat itu Pasar Sudimampir ini sudah menjual berbagai kebutuhan hidup dan barang rumah tangga produksi luar pulau Kalimantan, bahkan manca negara.

Baca Juga Yuk! Cerita Pak De tentang Kaghati Kolope dan Itik Alabio yang Membuatku Jatuh Cinta

Hal ini, konon terekam dari beberapa iklan di surat kabar lokal saat itu yang memuat iklan kacamata impor dari Jerman yang dipasang oleh toko bernama P.V.M. Teacher, juga Toko Borneo Optical Cie dan Toko Radja Katja Mata. Selain itu, di Sudimampir pada saat itu juga sudah ada toko yang menjual gramofon, yaitu Toko Bandoeng milik Boesramansoer.

Sementara di Pasar Baru, sebuah kawasan atau area pengembangan dari Pasar Sudimampir, saat itu juga sudah terdapat sebuah "toko koepiah" terkenal, bernama Hadji Dahlan bin Anang yang berjualan di Blok Borsumij, sedangkan di Pasar Kong, Sudimampir, para pedagang intan juga semakin eksis.


Sekarang, istilah pencerekenan secara makna memang dipahami masyarakat relatif lebih luas dari makna awalnya, tidak sekadar menjual barang makanan sehari-hari saja, tapi semua outlet mulai dari rombong, kios, toko kelontong yang menjual apa saja atau selayaknya "toko serba ada", asal ada menjual barang dan bahan yang bisa dimakan dan tidak melabeli dirinya sebagai minimarket, umumnya akan digelari sebagai warung pencerekenan.

Baca Juga Yuk! Laksa Banjar, "Kehangatan" Kuah Ikan Gabus Full Rempah dari Banjarmasin

Skala usaha "warung pencerekenan" sebagian besar memang tergolong pada level usaha UMKM atau skala mikro dan milik perorangan. Kalau di Surabaya dan sekitarnya mungkin orang akan menyebutnya sebagai pracangan, sedangkan kalau di kampung leluhur saya di kaki Gunung Lawu sana, mungkin identik dengan grabat atau warung grabatan.

Pencerekenan plus Wlijo Sayur-mayur | @kaekaha
Pencerekenan plus Wlijo Sayur-mayur | @kaekaha

Selayaknya level pedagang kecil dan menengah dengan modal yang relatif pas dan cenderung pas-pasan lainnya, sayangnya situasi terkini eksistensi warung pencerekenan, selayaknya peribahasa "pelanduk mati diantara dua gajah bertarung", ketika ekspansi duo raksasa jaringan minimarket nasional ternama semakin merangsek sampai ke kampung-kampung yang secara tradisional menjadi "ladangnya" warung pencerekenan.

Sedangkan warung pencerekenan yang beruntung, meskipun masih sanggup bertahan, keadaanya juga tidak lebih baik! Sebagian besar hanya sekedar bertahan hidup saja dan entah, itu sampai kapan?

Sepertinya sangat sulit bagi mereka untuk sekedar head to head, apalagi untuk lebih berkembang lagi, dibawah dominasi duo raksasa bermodal tanpa batas itu, kalau mengutip candaan Wak Asmuni, Srimulat, ini sepertinya sesuatu hil yang mustahal! 

Ada Juga yang Masih Lumayan | @kaekaha
Ada Juga yang Masih Lumayan | @kaekaha

Celakanya, berada di dalam iklim usaha yang tidak menguntungkan itu, warung pencerekenan justeru menjadi target dan sasaran praktik rentenir berkedok koperasi yang saat ini begitu bebas beroperasi tanpa kontrol dan pengawasan dari pihak-pihak berwenang! 

Petugas-petugas "koperasi ilegal" yang seolah-olah datang sebagai dewa penyelamat itu, datang untuk membantu permodalan warung-warung pencerekenan dengan angka-angka yang bisa disesuaikan dengan jaminan yang disepakati, tapi karena modal yang diberikan tidak gratis, dalam perjalanannya "kaki tangan" rentenir ini tidak lebih dari pembunuh berdarah dingin yang ujung-ujungnya akan menikam dari belakang.

Baca Juga Yuk! Kisah Serendipiti di Balik Kelezatan Sepiring Tahu Campur

Tidak heran jika kemudian, banyak warung pencerekenan yang sekarang terjerat utang dengan bunga tinggi pada rentenir, jangankan mau mengembangkan usaha, untuk membayar utang harian mereka ke para rentenir itu saja mereka ngos-ngosan! Akibatnya, pelan tapi pasti, situasi usaha mereka selayaknya peribahasa "hidup segan mati tak mau".

Warung Pencerekenan | @kaekaha
Warung Pencerekenan | @kaekaha

Struktur modal yang menjadi semakin terbatas karena prioritas yang harus terbagi, menyebabkan barang-barang jualan di warung pencerekenan yang terjerat rentenir tidak lagi lengkap, semangat berwira usaha semakin mengendur, menyebabkan warung jadi sering tutup dengan berbagai alasan, hingga tidak lagi menarik bagi para pembeli. Efeknya nyata! 

Pembeli-pembeli loyal yang sejatinya juga tinggal tetangga kiri kanan saja, pasti akan pindah belanja ke toko lain, apalagi disekitar ada minimarket-minimarket jaringan nasional yang memberikan fasilitas serba lebih! Lebih moderen, lebih lengkap, lebih nyaman, lebih banyak promo, lebih murah dan lebih-lebih yang lainnya lagi. 

Duh, bagaimana ya cara melestarikan kembali salah satu warisan budaya Banjar yang satu ini? (BDJ261124)

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota Tua 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun