Sedangkan dalam bahasa Jawa (Timuran), khususnya dialek Suroboyoan juga ada istilah reken yang maknanya memang agak beda, yaitu memperhatikan. Tapi kalau dirasa-rasa, keduanya sih masih ada benang merahnya ya, memperhitungkan-memperhatikan!
Uniknya, di dalam kamus Bahasa Banjar (pasif) karya Prof. Dr. H. Abdul Djebar Hapip, MA, Guru Besar Bahasa dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, saya tidak menemukan kosakata pencerekenan ataupun pancarekenan dalam daftar katanya.
Baca Juga Yuk! Kelezatan Kupang Lontong di Antara Persahabatan "Orang-orang Pabrik"
Tapi memang ada kosakata yang identik baik secara fonetis maupun grafis bahkan juga arti dan maknanya, yaitu puncarekenan yang diartikan sebagai barang makanan sehari-hari dan jika ditambahkan dengan kata warung di depannya, tentu maknanya sebagai warung yang menjual barang makanan sehari-hari atau kita kenal sebagai sembako.
Menurut laman resmi Kesultanan Banjar, Dokumentasi tertua warung pencerekenan masyarakat di seputaran Kota Banjarmasin datang dari masa kolonial Belanda di awal tahun 1900-an. Meskipun tidak sebanyak sekarang, pada awal tahun 1900-an sudah ada beberapa warung atau mungkin toko pancarekenan di Kota Banjarmasin.
Warung atau mungkin toko pancarekenan dengan "ukuran" beragam itu sebagian besar berada di lingkungan Pasar Sudimampir di tepian Sungai Martapura, tepat di jantung Kota Banjarmasin. Saat itu Pasar Sudimampir ini sudah menjual berbagai kebutuhan hidup dan barang rumah tangga produksi luar pulau Kalimantan, bahkan manca negara.
Baca Juga Yuk! Cerita Pak De tentang Kaghati Kolope dan Itik Alabio yang Membuatku Jatuh Cinta
Hal ini, konon terekam dari beberapa iklan di surat kabar lokal saat itu yang memuat iklan kacamata impor dari Jerman yang dipasang oleh toko bernama P.V.M. Teacher, juga Toko Borneo Optical Cie dan Toko Radja Katja Mata. Selain itu, di Sudimampir pada saat itu juga sudah ada toko yang menjual gramofon, yaitu Toko Bandoeng milik Boesramansoer.
Sementara di Pasar Baru, sebuah kawasan atau area pengembangan dari Pasar Sudimampir, saat itu juga sudah terdapat sebuah "toko koepiah" terkenal, bernama Hadji Dahlan bin Anang yang berjualan di Blok Borsumij, sedangkan di Pasar Kong, Sudimampir, para pedagang intan juga semakin eksis.
Sekarang, istilah pencerekenan secara makna memang dipahami masyarakat relatif lebih luas dari makna awalnya, tidak sekadar menjual barang makanan sehari-hari saja, tapi semua outlet mulai dari rombong, kios, toko kelontong yang menjual apa saja atau selayaknya "toko serba ada", asal ada menjual barang dan bahan yang bisa dimakan dan tidak melabeli dirinya sebagai minimarket, umumnya akan digelari sebagai warung pencerekenan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!