Misalkan, "Luh, laki ikam turun kah?"Â atau "Luh, anak ikam kada turun?"
Tapi, meskipun tidak lengkap dalam menyebutkannya, uniknya semua tetap paham jika yang dimaksudkan adalah turun yang bermakna pergi atau berangkat, baik pergi kerja maupun berangkat sekolah.Â
Etimologi Para Tetuha
Pergeseran makna kata "turun" dalam frasa "turun bagawi" ini, menurut beberapa tetuha di kampung  tidak tiba-tiba ada, tapi justru berhubungan erat dengan peradaban masyarakat Banjar dari masa lalu. Waaaaw dari masa lalu?
Pergeseran makna ini ternyata sebuah "jejak" bersejarah dari konstruksi arsitektur rumah Banjar di masa lalu yang umumnya berbentuk ala rumah panggung.
Rumah panggung yaitu rumah yang fisik bangunannya dibangun berjarak (tidak menempel) dengan permukaan tanah, dengan ketinggian sesuai dengan kebutuhan, tergantung jenis rumah adat Banjar-nya dan keperluannya yang biasanya untuk menghindari banjir maupun serangan binatang buas.
Karena posisi fisik rumah panggung lebih tinggi dari pada umumnya, maka untuk mengaksesnya diperlukan tangga yang umumnya juga terbuat dari bahan kayu dengan berbagai model yang biasanya berhias dengan aneka ukiran tradisional yang  khas. Â
Jadi kalau direkonstruksi, sebenarnya kalimat awal penbentuk frasa "turun bagawi"Â adalah "turun gasan bagawi"Â yang artinya adalah turun untuk bekerja. Â
Kata turun disini mengindikasikan bahwa untuk bagawi atau bekerja, maka seseorang harus turun dulu. Dalam konteks ini jelas, turun-nya adalah turun dari rumah (panggung) menuju tempat bekerja. Ini juga berlaku untuk frasa setara seperti turun sakulah.Â
Bahasa Banjar, tidak hanya ada pada frasa untuk "turun-nya" saja, turun bagawi dan atau turun sakulah saja, tapi "naik-nya" juga.
Uniknya, kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya "jejak" konstruksi rumah adat Banjar di masa lalu di dalamJika anda berkesempatan bertamu ke rumah Urang Banjar, terutama yang di daerah-daerah, biasanya ucapan atau ajakan tuan rumah untuk mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah, bukan "silakan masuk" atau "ayo masuk" tapi "silakan naik" atau "ayo naik", tentu dengan bahasa dan logat khas Banjar, meskipun rumah tinggal si-tuan rumah bukan lagi rumah panggung.