"Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong".
(Bumi berguncang, langit berkilat, terlihat seperti orang yang cinta melihat segala kehormatan dan keindahan dunia, gunung pun berantakan).
Kearifan Budaya WayangÂ
Bagi masyarakat Jawa yang kebetulan mempunyai "kedekatan" dengan budaya pewayangan, khususnya pagelaran wayang kulit purwa atau secara umum dikenal sebagai wayang kulit saja.
Tentu tidak asing dengan syair suluk atau ada juga yang menyebutnya sebagai ada-ada yang secara awam sering digelari sebagai suluk bumi gonjang-ganjing diatas. Apalagi jika sekaligus mendengarkan tampilan audionya.
Suluk merupakan sejenis prelude atau narasi pembuka dari tiap sub-rangkaian cerita dalam sajian pentas wayang kulit yang tersaji dalam bentuk "nyanyian" Ki dalang dengan teknik acapella alias tanpa iringan musik pengiring ensemble karawitan secara full team.
Dan biasanya hanya ditemani oleh bunyi dodogan atau bunyi dok...dok...dok yang muncul ketika Ki dalang mengetuk-ngetukkan campala ke bagian dalam kotak wayang dengan tangan kirinya.
Suluk yang menurut Serat Sastramiruda karya K.P.A. Kusumadilaga, merupakan karya Sunan Kudus dan mulai muncul di pagelaran Wayang Kulit Purwa pada tahun 1443 Saka atau sekitar awal abad ke-16 tersebut "dimainkan" Ki dalang untuk membantu penonton ngimajinasi atau berimajinasi pada suasana tertentu, sesuai dengan jalan cerita yang dikehendaki Ki dalang.
Sehingga penonton yang mendengar suluk atau ada-ada bisa segera tanggap akan adanya pergantian sub-cerita, sehingga sesegera mungkin mempersiapkan diri untuk berimajinasi sesuai dengan tematik suasana pada adegan berikutnya.Â
Itulah sebabnya, suluk atau ada-ada mempunyai banyak jenis, sesuai dengan peruntukan yang berbeda-beda.
Suluk untuk mengawali cerita perang yang menegangkan jelas akan berbeda dengan suluk untuk prelude kisah sedih, begitu juga suluk kisah kasmaran dengan suluk yang lainnya.