Tidak hanya view alam di luar kapal saja yang menggoda, sajian miniatur Indonesia pada proses interaksi "keluarga baru" yang layaknya gado-gado ini merupakan salah satu fragmentasi kehidupan khas nusantara terbaik yang pernah saya lihat secara langsung dengan mata kepala saya sendiri, sebagai cerminan bhinneka tunggal ika.
Meskipun didominasi oleh Urang Banjar, setidaknya jika dilihat dari bahasa dan dialek yang digunakan, ternyata di dalam kapal juga banyak berisi perantau dari Pulau Jawa dan Sumatera yang sebagian besar hendak menuju ke stockpile atau juga camp tambang Batubara yang ada di kawasan pedalaman hulu Sungai Barito yang kebetulan, memang lebih mudah di jangkau melalui jalur sungai.
Selain itu, ini yang menurut saya luar biasa! Di dalam kapal ternyata juga banyak masyarakat suku Dayak dan uniknya, ternyata mereka banyak berasal dari sub-suku Dayak yang berbeda-beda, sehingga secara budaya mereka juga relatif berbeda.Â
Dari obrolan saya dengan beberapa teman Suku Dayak yang berbeda di beberapa kesempatan, menurut mereka perbedaan diantara sub-suku Dayak yang paling mudah terlihat adalah dari bahasanya.Â
Uniknya, perbedaan bahasa ibu diantara sub-suku  Dayak ini menyebabkan mereka tidak bisa saling berkomunikasi, maka jalan tengahnya, mereka menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa komunikasi diantara mereka. Jadi menurut mereka, bahasa Banjar merupakan bahasa pergaulan sekaligus bahasa persatuan semua sub-suku Dayak di sepanjang DAS Barito. Ini yang saya baru tahu!
Ada beberapa cerita menarik terkait interaksi saya dengan beberapa penumpang dalam perjalanan bulik kampung dengan kapal kayu yang di sepanjang perjalanan lebih banyak melewati kawasan hutan dari pada pemukiman warga ini. Karenanya, tidak heran jika komunikasi seluler menjadi salah satu "barang mewah" dalam perjalanan ini.
Luarbiasnya, kru kapal sudah hafal di titik-titik mana saja sinyal seluler akan muncul berikut kualitas dari masing-masing operatornya. Uniknya, di masing-masing titik itu sinyal terkuatnya sering muncul dari operator yang berbeda-beda.Â
Pada saat makan malam di kantin, tiba-tiba Mang Udin juragan pakaian yang baru saja pulang dari belanja pakaian di Pasar Sudimampir, Banjarmasin untuk dijual lagi di Pasar Kota Buntok, Kab. Barito Selatan mendatangi saya dan beliau minta tolong saya untuk dibelikan pulsa listrik untuk tokonya yang menurut anak buahnya mesin meterannya sudah berbunyi. Padahal kalau menunggu kedatangan sidin (beliau;bahasa Banjar) tentu masih 2 hari lagi baru sampai. Â
Siang tadi, waktu sama-sama menunggu penuhnya penumpang kapal di dermaga Banjar Raya, kebetulan beliau melihat saya membelikan pulsa HP sepupu yang mengajak saya bulik kampung ke Muara Teweh melalui aplikasi digital BRImo. Dari situlah akhirnya kami mengobrol banyak hal mengenai "kesaktian" aplikasi BRImo yang sangat aktual, mudah, cepat dan tentunya tetap aman.
Sambil menikmati Soto Banjar varian ayam bapukah kesukaan saya, saya langsung coba buka smartphone saya. Sayang dari dua smartphone saya yang berisi 4 nomor dari 4 operator berbeda, ternyata tidak satupun yang bersinyal, sehingga saya tidak bisa membuka aplikasi BRImo sama sekali.