Tradisi Badadamaran dan Tanglong
Istilah tradisi badadamaran dalam budaya Urang Banjar berasal dari kata damar, yaitu sejenis pohon kayu keras dengan nama latin Agathis dammara yang bisa disadap di bagian kulit batangnya untuk diambil getahnya yang biasa disebut sebagai getah damar, getah multifungsi yang harganya sangat mahal.
Sebelum listrik masuk ke Pulau Kalimantan, getah damar menjadi salah satu sumber bahan bakar dari alam untuk penerangan yang dipakai oleh masyarakat Kalimantan. Hanya saja, karena harganya yang relatif mahal, tidak setiap hari masyarakat membakarnya untuk menerangi aktifitas sehari-hari ketika malam mulai menyelimuti.
Biasanya hanya pada momen-momen tertentu saja bahan bakar dari getah damar dibakar untuk menerangi gelapnya malam, salah satunya yang mentradisi adalah menerangi malam-malam di sepanjang bulan Ramadan yang biasa di sebut masyarakat sebagai aktifitas badadamaran.
Tujuannya jelas, pemasangan obor di depan rumah atau di pinggir jalan ini selain menyemarakkan malam-malam selama bulan Ramadan, juga sangat bermanfaat untuk menerangi jalan, sehingga memudahkan masyarakat yang ingin menuju ke langgar atau masigit (masjid ; bahasa Banjar), untuk mengikuti kajian, shalat malam, tadarus, itikaf dll.
Sayang, konon lama kelamaan seiring semakin langkanya pohon damar di banua, hingga harganya juga ikut tidak terkontrol, berpengaruh pada eksistensi tradisi badadamaran di banua.
Jika di awal tradisinya, masyarakat membakar getah damar di sepanjang malam-malam bulan Ramadan, berikutnya hanya tertinggal di sepuluh hari terakhir saja.
Memang, akhirnya masyarakat banua bisa menyiasati kelangkaan getah damar dengan memanfaatkan lembaran karet kering yang juga bisa disulut dengan api, setelah sebelumnya ditempatkan dalam wadah-wadah kreasi sendiri dari bahan apa saja, bisa batang pisang, pelepah daun rumbia, bambu atau yang lainnya.
Uniknya, meskipun tidak lagi memakai getah damar sebagai bahan bakar, masyarakat tetap menyebut aktifitas mereka menerangi malam-malam ramadan tersebut dengan badadamaran, bahkan ketika jenis bahan bakarnya semakin beragam, sejak hadirnya lilin dan minyak tanah yang selain mudah didapat, juga relatif lebih murah.
Baca Juga : Balai Hakey, Jejak Tua Tradisi Toleransi Suku Dayak Ma'anyan-Suku Banjar yang Tetap Aktual
Dalam perjalanannya, evolusi badadamaran tidak hanya terjadi pada ragam jenis bahan bakarnya saja, tapi juga wadah atau tempat membakar bahan bakarnya, berikut semua perlengkapannya.
Kreatifitas masyarakat yang bisa menjadikan kelengkapan ini menjadi beragam bentuk seperti beragam bentuk masjid, aneka binatang, perahu bahkan beragam alat transportasi, memunculkan ide dari pemerintah untuk diadakan perlombaan antar kampung.
Khusus untuk penerangan dari bahan bakar minyak tanah, biasanya dulu masyarakat memanfaatkan barang-barang bekas seperti botol limun, kecap, kaleng susu dan atau apa saja yang bisa dipakai untuk wadah minyak tanah. Untuk sumbunya biasa memakai kain baju bekas yang di sematkan ke tutup botol yang telah dilubangi tengahnya.
Seiring masuknya listrik, tradisi badadamaran kembali berevolusi. Berikutnya, kreatifitas badadamaran masyarakat banua mengarah pada bentuk yang jauh lebih estetik, yaitu membuatkan semacam lampion dari kertas warna-warni yang dilengkapi dengan pencahayaan dari lampu listrik.
Sayangnya, dalam proses evolusif ini ternyata nama badadamaran lambat laun justeru tergeser oleh nama baru meskipun bercitarasa lama, yaitu tanglung atau tanglong sejenis lampion yang terbuat dari kertas warna-warni dan di beri hiasan lampu yang menurut budayawan Banjar yang juga Kompasianer Zulfaisal Putera, berasal dari daratan Cina dan justeru telah masuk ke banua Banjar seiring masuknya Islam sekitar abad 16.
Baca Juga : "Guru dan Tuan Guru", Gelar Kehormatan untuk Alim Ulama Panutan ala Urang Banjar
Memang dalam perjalanannya, tanglong berkembang tidak hanya sekedar menjadi penerang jalanan layaknya tradisi dadamaran, tapi justeru lebih eksis di jalur etetika.
Tidak hanya tanglong yang digantung di beranda-beranda rumah selama ramadan saja, dalam perjalanannya tanglong juga berkembang menjadi media hiburan dan kompetisi, dengan diadakanya festival jukung tanglong dan mobil hias tanglong yang biasanya menampilkan beragam kreasi yang luar biasa indah.
Sekarang, jika anda sempat baelang (berkunjung ; bhs Banjar) ke Kota 1000 Sungai atau ke kawsan banua anam, yaitu di enam kabupaten paling utara di Kalimantan Selatan, jika anda menemukan lampu hias warna-warni di sepanjang jalan atau bahkan di pusat kota, terutama setelah malam salikuran (malam dua puluh satu ramadan;bhs Banjar), itulah manifestasi badadamaran di zaman sekarang yang mungkin akan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai tanglong atau tanglung.
Cahaya lampu-lampu inilah yang dulu menerangi jalan-jalan di seputar kampung sampai perkotaan, menunjukkan jalan bagi para perindu malam 1000 bulan menuju tempat-tempat turunnya malam yang paling mulia ini, hingga beberapa diantaranya Insha Allah berhasil menemukannya, bahkan diantaranya juga merasa perlu membongkar semua rahasia di balik turunnya malam lailatul qadar alias malam 1000 bulan. Penasaran?
Mengurai Rahasia Dibalik Malam 1000 Bulan
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan”.
(Al-Qadar : 1-3)
Malam lailatul Qadar atau ada yang menyebutnya sebagai malam 1000 bulan, diyakini seluruh umat Islam (sekali lagi umat Islam ya bukan umat muslim! Keduanya sangat berbeda. Untuk mengetahui perbedaanya silakan klik disini) sebagai malam kemulian, yaitu malam yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai waktu paling istimewa bagi umat Islam, karena kemuliannya lebih baik dari 1000 bulan.
Maknanya, siapapun muslim yang "mendapatkan" malam lailatul qadar dalam aktifitas itikaf-nya, beribadah mengingat Allah di dalam rumah-rumah Allah SWT, maka pahala Allah SWT untuknya lebih baik dari pahala ibadahnya muslim yang beribadah terus menerus selama 1000 bulan atau sekitar 8 tahun 4 bulan di waktu-waktu biasa. Luar biasa bukan?
Baca Juga : Meluruskan Kekeliruan Massal "Umat Muslim"
Begitulah, diskripsi paling mudah untuk menjelaskan malam lailatul qadar atau malam 1000 bulan yang menurut sejarahnya merupakan "bonus alias kompensasi" bagi umat Rasulullah SAW yang umurnya pendek jika dibandingkan dengan umat terdahulu.
Malam 1000 bulan Bonus alias kompensasi untuk umat Islam? Kenapa parameternya 1000 bulan saja? Kenapa nggak 2000 atau 3000 sekalian gitu?
Alhamdulillah, tradisi badadamaran yang menerangi jalanan di kampung-kampung dahulu terasa juga sekarang manfaatnya! Cahaya dadamaran telah membantu para perindu sunnah Rasulullah pada jaman itu tetap berangkat mengikuti beragam kajian di masigit yang salah satunya tentu terkait latar belakang diturunkanya malam 1000 bulan, hingga ilmunya sampai kepada kita yang hidup beberapa dekade kemudian.
Dikisahkan dari Ahmad Ibnu Abi Bakar Azzuhri, mengatakan dari Malik telah sampai kepadanya bahwa suatu hari Rasulullah SAW diperlihatkan panjangnya usia kalangan umat terdahulu, karenanya Rasulullah SAW merasa resah mengetahui usia rata-rata umatnya sangat pendek, hingga Rasulullah SAW merasa khawatir amal saleh umatnya tidak dapat mencapai tingkatan generasi sebelumnya. Menjawab keresahan Rasulullah, Allah SWT langsung memberi kompensasi pendeknya umur umat Rasulullah dengan Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan.
Maknanya, Lailatul Qadar atau malam 1000 bulan yang hanya dikhususkan bagi umat Rasulullah SAW ini merupakan bukti kasih sayang Allah SWT kepada umatnya Rasulullah.
Suasana turunnya Lailatul Qadar diabadikan Allah SWT pada QS Al-Fajr : 4-5, dimana disebutkan "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar". Sungguh, di malam kemuliaan itu, banyak sekali malaikat yang turun (ke muka bumi), bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat dari Allah SWT.
Sedangkan angka 1000 bulan jelas hak prerogatif Allah SWT, tapi dikisahkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud, bahwa yang dimaksud dengan "malam kemuliaan itu” dalam QS Al Qadar 1-3 diatas, ternyata merujuk pada sosok lelaki yang menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah. Siapa dia?
Dalam hadis lain riwayat Tirmidzi, Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, Rasulullah SAW bersabda yang intinya, "Dahulu ulama keturunan Nabi Ya'kub as atau Bani Israil, selalu melakukan ibadah salat malam hingga pagi hari dan di siang harinya ia sanggup berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Mereka melakukan aktifitas ibadah seperti itu secara terus menerus selama seribu bulan".
Baca Juga : "Basambang Mambangkit Tampirai" Ngabuburit Asyik ala Urang Banjar
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa yang dimaksud sosok lelaki yang menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah adalah Nabi Syam'un atau di dunia barat lebih dikenal sebagai Samson, nabi yang diutus kepada kaum Bani Israil.
Sepertinya dari kisah Nabi Syam'un inilah, asal mula angka 1000 bulan, dijadikan parameter kompensasi alias bonus dari Allah SWT kepada umat Rasulullah SWT yang rata-rata umurnya pendek, agar panjangnya umur dalam beribadah kepada Allah SWT di akhir zaman bisa setara dengan umat terdahulu. Wallahu A'lam Bishawab
Semoga bermanfaat!
"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H, Yuk Menjemput Lailatu Qadar!"
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H