Pasar terapung yang menjadi salah satu ikon pariwisata di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin, sebenarnya bukan hanya sebuah ekosistem pasar yang tidak umum atau tidak biasa seperti pasar pada umumnya, karena semua aktivitas pasarnya dilakukan diatas sungai, sehingga dianggap unik oleh sebagaian besar khalayak.
Sejatinya, pasar terapung yang menjadi salah satu warisan budaya Kesultanan Banjar yang telah berusia berabad-abad lamanya, merupakan miniatur landsape kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Banjar yang secara turun-temurun telah menjadikan Agama Islam sebagai identitas spiritualnya, bersanding dengan beragam pernaik-pernik budaya sungainya yang unik dan spesifik.
Baca Juga:Â "Basambang Mambangkit Tampirai" Ngabuburit Asyik ala Urang Banjar
Tidak heran jika kemudian, pasar terapung menjadi salah satu titik pengejawantahan atau pengaplikasian konsep hablumminannas yang paling intens di lingkungan masyarakat Banjar, dalam bentuk berbagai tradisi kesalehan sosial yang tentunya sangat menginspirasi siapa saja yang pernah menengoknya di sepanjang Sungai Barito atau Sungai Martapura, Kalimantan Selatan.
Pertama, Berbahasa Banjar Halus
Pedagang di pasar terapung yang sebagian besar adalah babinian atau perempuan, hampir semuanya pula telah berumur, bahkan banyak diantaranya adalah para paninian alias nenek-nenek.
Biasanya, sidin atau beliau memakai bahasa Banjar halus yang setara dengan bahasa Jawa Kromo Inggil dalam bahasa Jawa untuk menyapa semua pembelinya, termasuk kepada anak-anak sekalipun.
Baca Juga:Â "Kronik 24 Jam", Lifehack Menuju Maksimalnya Keberkahan Ramadan
Kebiasaan para pedagang memakai bahasa halus ini, pada dasarnya merupakan cara paling sederhana untuk memberi penghormatan kepada semua calon pembeli dagangannya, bahkan jika beruntung ada juga acil-acil (bibi-bibi), sebutan bagi pedagang di pasar terapung yang menawarkan dagangannya dengan cara berpantun.Â
Kedua, Tradisi Dukuh dan Penyambangan
Secara tradisional, pedagang di pasar terapung bisa dibedakan menjadi dua kategori besar, yaitu dukuh dan panyambangan.Â
Kategori dukuh disematkan kepada pedagang yang menjual barang-barangnya sendiri atau setidaknya barang yang berstatus milik keluarganya sendiri, sedangkan kategori panyambangan disematkan kepada para pedagang reseller atau yang menjualkan barang milik orang lain.
Pemberian kategori ini bermanfaat untuk menjaga legalitas, kepastian, kejelasan, sekaligus keabsahan jalur dan kepemilikan barang yang dijual. Sehingga tidak hanya menjaga keamanan dan kenyamanan pembeli saja, tapi juga penjual dan juga pemasok barang kepada penjual. Hingga hubungan baik antar elemen dalam rantai jual beli ini, diharapkan membawa keberkahan tidak hanya didunia (terkait aspek hablumminannas), tapi juga di akhirat (terkait aspek hablumminallah).
Baca Juga:Â Inspirasi Berbagi dari Siklus Alami Tubuh Kita