Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Balai Hakey, Jejak Tua Tradisi Toleransi Suku Dayak Ma'anyan-Suku Banjar yang Tetap Aktual

17 April 2022   23:23 Diperbarui: 17 April 2022   23:26 2487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Balai Adat Dayak | @kaekaha 

Toleransi Berusia Ratusan Tahun

Balai Hakey adalah sebuah bangunan rumah besar yang dipersiapkan oleh masyarakat Suku Dayak Ma'anyan untuk masyarakat muslim, baik dari kalangan suku Maanyan sendiri maupun Suku Banjar yang biasa disebut sebagai Urang Hakey dan sedang menghadiri acara-acara adat besar seperti upacara ijambe, tewah dan aruh ganal atau kenduri besar lainnya di lingkungan Suku Dayak Ma'anyan yang ada dan berlaku sejak ratusan tahun silam. 

Baca Juga :  "Basambang Mambangkit Tampirai" Ngabuburit Asyik ala Urang Banjar

Selama berada di balai hakey ini, masyarakat muslim diberikan fasilitas yang layak untuk tetap bisa menjalankan semua aktifitas kehidupannya sebagai muslim, termasuk memasak masakan sendiri dengan sumber pangan yang halal, baik dari segi cara mendapatkannya, bahan dan cara pengolahannya.  Luar biasa bukan?

Ilustrasi Balai Adat Dayak | @kaekaha 
Ilustrasi Balai Adat Dayak | @kaekaha 

Sejarah Balai Hakey

Sebelum berdiri Kerajaan Negara Dipa dan Kerajaan Negara Daha, cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, Suku Ma'anyan sudah mempunyai tata pemerintahan sendiri yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Nan sarunai. Sayang, kerajaan ini akhirnya bubar setelah mendapatkan serangan dari armada Majapahit, hingga orang Ma'anyan akhirnya terdiaspora.

Dikisahkan, pasca terdiaspora ini, munculah seorang tokoh bernama Labai Lamiah yang menurut tradisi lisan masyarakat Suku Ma'anyan sendiri, beliau adalah orang Dayak Ma'anyan pertama yang menjadi muallaf dan kelak menjadi mubaligh atau pendakwah di wilayah Nagara yang sekarang masuk ke wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Baca Juga :  "Guru dan Tuan Guru", Gelar Kehormatan untuk Alim Ulama Panutan ala Urang Banjar 

Dari dakwah Labai Lamiah inilah masyarakat Suku Ma'anyan, khususnya yang tinggal di seputaran Banua Lawas atau sekarang dikenal sebagai kawasan Pasar Arba, tidak jauh dari Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong akhirnya memeluk agama Islam. 

Karena komunitas Suku Ma'anyan muslim ini memerlukan tempat ibadah, maka akhirnya Balai Adat orang Ma'anyan di kawasan ini dialih fungsikan menjadi masjid yang sampai sekarang masih ada dan jejak peninggalan tradisi suku Maanyan pra Islam berupa beberapa guci tua juga masih ada.

Masjid Pusaka Banua Lawas Dibangun sejak 1625 | Banjarmasin Post
Masjid Pusaka Banua Lawas Dibangun sejak 1625 | Banjarmasin Post

Orang-orang Islam inilah yang kelak disebut hakey oleh saudara-saudara Ma'anyan mereka yang masih memeluk keyakinan lama mereka. 

Pada awalnya, sebenarnya sebutan hakey disematkan hanya kepada Orang Islam yang menjadi utusan dari Kesultanan Banjar yang hadir dalam upacara Ijambe, upacara kematian khas Suku Ma'anyan. 

Para utusan yang beragama Islam ini, dengan sopan menolak untuk menyantap daging babi, hidangan tradisional yang dihidangkan dalam jamuan makan dan dengan detail berusaha menjelaskan alasannya. 

Tetua adat Suku Ma'anyan yang mendengar penjelasan langsung dari para utusan dari Kesultanan Banjar, langsung berkata  "O ... hakahiye sa!" yang maknanya "O ... begitukah!". 

Baca Juga :  "Banjir" Belungka Batu, Tanda-tanda Urang Banjar Bersiap Memasuki Bulan Ramadan                                    

Ucapan para tetua adat itulah yang kelak menjadi dasar penyebutan kepada semua orang Banjar, para muslim dan orang Dayak Ma'anyan yang beragama Islam akhirnya disebut sebagai hakey. 

Memang harus diakui, kemunculan orang hakey menjadikan suku Ma'anyan tidak lagi satu, mereka terbelah menjadi dua bagian besar. Sebagian memilih menjadi muslim sekaligus melebur dalam status baru mereka sebagai Urang Banjar dan sebagian lainnya tetap memilih melanjutkan tradisi keyakinan serta adat istiadat nenek moyangnya.

Mereka yang memilih tetap dalam keyakinan nenek moyang ini, akhirnya juga memilih untuk menepi ke daerah baru yaitu di seputar tepian Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Tengah. 

Ilustrasi Anak-anak Suku Dayak | @kaekaha
Ilustrasi Anak-anak Suku Dayak | @kaekaha

Tapi jangan salah!

Meskipun Orang Ma'anyan ini akhirnya memilih untuk menepi dan menjauh dari saudara-saudara hakey-nya, bukan berarti mereka juga menjauh atau lebih tepatnya melepaskan tali silaturahmi dan tali kekerabatan dengan saudara-saudaranya yang sekarang lebih dikenal sebagai Urang Banjar tersebut.

Rasa persaudaraan Orang Ma'anyan dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin baik. Bahkan, dalam perjalanannya yang juga tercatat dalam sejarah Banjar maupun tradisi lisan Orang Ma'anyan, ada beberapa Sultan yang memerintah Kesultanan Banjar berikut keturunannya yang kawin-mawin dengan para pembesar Orang Ma'anyan hingga tali temali persaudaraan diantara mereka justeru terjalin semakin kuat.

Baca Juga :  Balada "Warung Sakadup", Sisi Unik nan Menggemaskan Ramadhan di Kota 1000 Sungai

Bahkan menurut Datuk Cendikia Hikmadiraja Kesultanan Banjar yang juga pengajar di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Taufik Arbain, relasi intens Urang Banjar dengan Orang Ma'anyan ini telah terjadi di abad-abad awal politik dakwah Kesultanan Banjar yang mengirimkan para pendiaspora dakwah memasuki pedalaman selain kepentingan perluasan wilayah (ekspansi) di kawasan pedalaman Tamiang. 

Melanjutkan relasi intens pada periode sebelumnya sebagaimana riset Pradiptajati dan Nicolas Brucato ahli genetik dari Universitas Toulouse Prancis, peneliti DNA orang Madagaskar yang menemukan komposisi prosentase genetikanya, campuran Melayu Banjar dan Ma'anyan masing-masing 75 : 15 persen.

Kretaifitas Masyarakat Suku Dayak | @kaekaha
Kretaifitas Masyarakat Suku Dayak | @kaekaha

Maknanya, kehadiran tradisi bertoleransi dalam wujud balai hakey telah ada sejak beratus-ratus tahun silam dan luar biasanya sampai sekarang dan seterusnya akan tetap aktual, karena sejatinya bukan hanya jejaknya saja yang sekarang masih bisa terlihat, tapi sosok asli nan megah balai hakey sampai saat ini masih bisa dilihat, masih bisa dirasakan dan tentunya masih terus menginspirasi dunia bagaimana bertoleransi yang adil dan proporsional!  

Di daerah Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, pembangunan balai hakey  masih terus dilaksanakan seiring persiapan upacara besar Ijambe/Ijame, yaitu upacara kematian khas masyarakat Suku Dayak Ma'anyan. Tertarik untuk menjadi saksi warisan tradisi toleransi tertua yang masih ada dan terdokumentasi dengan baik ini? Yuk jalan-jalan ke Kalimantan...

Semoga bermanfaat!

"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H"

Salam matan Kota 1000 Sungai, 

Banjarmasin nan Bungas! 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun