Biasanya, ibu-ibu kami di kampung, baru menjahit bakalan sarung tersebut di ujung-ujung Ramadan atau ketika mendekatai lebaran tiba, untuk dipakai saat shalat idul fitri di tanah lapang kampung.
Namanya juga anak-anak, meskipun belum di jahit, tetap saja bakalan sarung tersebut kami bawa ke langgar. Biasanya, kain itu kami pakai untuk maka bermain-main dengan teman-teman lainnya, seperti bikin ikat kepala meniru bajak laut, topeng layaknya ninja, atau jadi kain terbang layaknya superman, batman dan jenis man-man lainnya.Â
Setelahnya, apalagi kalau bukan untuk perang sarung dan setelah kecapekan, barulah kain-kain bakalan sarung itu kembali kepada fungsi legendaris-nya, untuk kemul  sarung alias selimut yang menemani tidur malam kami di langgar selama Ramadan.
Lus Sikil yang Ngangeni!Â
Sebelum tidur, kami anak-anak langgar di kaki Gunung Lawu juga mempunyai satu "ritual" unik yang telah mentradisi sejak lama di lingkungan kampung kami, yaitu lus sikil.
Istilah lus sikil ini berasal dari istilah ngelus sikil atau usap kaki ini. Aktifitas ini biasanya kami lakukan secara beramai-ramai secara paralel jika rangkaian ibadah malam Ramadan telah tertunaikan semuanya dan semua sudah bersiap untuk tidur.Â
Tapi bisa juga dilakukan berdua saja, sesaat setelah selesai giliran ber-tadarus atau membaca Alquran dan sedang istirahat sambil menunggu takjil berat alias nasi bungkus tiba.
Caranya cukup mudah! Secara teknis sangat sederhana, yaitu saling mengusap kaki teman (biasanya bagian telapak, kecuali ada kesepakatan lain). Jika hanya berdua, maka dengan cara berebah kami tinggal mengatur posisi, agar masing-masing bisa saling mengusap telapak kaki secara lembut, sehingga masing-masing tidak berasa geli, tapi justeru merasa keenakan hingga banyak diantaranya yang akhirnya malah tertidur pulas.
Biasanya, kami melakukan lus sikil ini dalam keadaan memakai sarung, tapi bagian atas tidak dililit layaknya mau sholat, sedang bagian bawah sarung sengaja dilebihkan agar bisa melindungi kaki, khususnya bagian telapak yang diusap,  dari serangan nyamuk-nyamuk nakal.Â
Lus sikil ini pada dasarnya bisa diikuti siapa saja dan berapa saja pesertanya, tapi karena di dalam aktifitasnya tidak sekedar usap-mengusap atau sekedar ngelus-ngelus telapak kaki dan sekitarnya saja, tapi juga ada obrolan, gurauan, bahkan curhat-curhatan bagi yang sudah remaja-dewasa, maka umumnya kedekatan emosi lebih menjadi pertimbangan untuk membentuk grup atau setidaknya partner lus sikil ini.
Makanya, partner dalam grup lus sikil ini biasanya bersifat tetap dan relatif tidak berubah-rubah. Paling umum, dalam satu grup itu merupakan teman seangkatan kolah yang sesebaya atau seumuran dengan jumlah anggota berbeda-beda. Kecuali ada hal-hal tertentu yang memang mengharuskan saling mencari partner baru.
Sampai saat ini, kami masih mengingat dengan jelas, romantika Ramadan anak-anak langgar di kampung kecil di kaki Gunung Lawu dekade 80-an dan sebagai pengobat rindu, saya mencoba untuk terus melestarikan tradisi lus sikil ini di dalam keluarga saya sendiri dan uniknya, tradisi lus sikil ini telah menjadi "obat tidur" paling mujarab dalam keluarga kami. Naaah, mau mencoba?