Walaupun secara faktual tidak melakukan perjalanan napak tilas dari titik paling utara Indonesia di Pulau Rondo-Aceh ke Pulau Pamana, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur di bagian selatan atau sebaliknya yang bentang jaraknya berdasarkan garis lintang adalah sekitar 1.800 kilo meter, tapi secara faktual saya juga melakukan perjalanan parsial dari tengah ke selatan, lanjut ke utara dengan total jarak lebih dari 2.000 km dan itu artinya perjalanan saya telah melebihi bentang jarak sisi lebar nusantara.Â
Alhamdulillah, tentu saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan, sekaligus pengalaman yang menurut ukuran saya, termasuk luar biasa ini. Diperjalankan-Nya saya dalam perjalanan bersejarah ini, jelas semakin meyakinkan saya akan "besarnya" nusantara, berikut segala ke-bhinneka-an yang ada didalamnya dan yang tidak kalah penting, fakta bagaimana kita semua memang berusaha menjaganya tetap tunggal ika.Â
Yuk intip keseruan saya menapaktilasi bentang "lebar" nusantara! Meskipun baru menemukan secuil keragaman faktual nusantara, mudah-mudahan memicu semangat anda semua untuk ikut menjelajahi panjang dan lebar nusantara lebih serius dan lebih intens lagi! Semoga...
Bertemu Orang "Jaton"Â
Hujan deras disertai dengan angin yang cukup kencang, mengguyur Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas, melepas kepergian saya dari rumah menuju Bandar Udara Internasional Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, sesaat setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid bubar, pada Senin pagi (7/3).
Beruntung, sesampai di terminal baru Bandara yang baru diresmikan dua tahun silam tersebut, hujan mulai reda walaupun masih meninggalkan sebagian mendung hitam di atas langit Kota Idaman, Banjarbaru yang beberapa hari lalu juga baru saja menerima mandat sebagai Ibu Kota baru Propinsi Kalimantan Selatan, menggantikan Kota Banjarmain.
Di pintu masuk, saya bertemu dengan 3 orang "teman baru" yang juga akan terbang menuju Manado. Ternyata, ketiganya yang berasal dari Kota Manado, Pulau Talaud dan dari Bolaang Mongondow ini, juga baru saling kenal di bandara. Masing-masing mengaku bekerja di pertambangan Nikel dan batubara yang berbeda-beda, di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Â
Menariknya, setelah berkenalan, betapa excited-nya saya, ternyata teman baru dari Bolaang Mongondow ini masih keturunan Jaton alias Jawa Tondano yang moyangnya telah terdiaspora ke Bolaang Mongondow. Bahkan namanyapun sangat njawani lho, Suratno. Tapi uniknya, tetap saja terbata-bata ketika saya ajak ngobrol pakai bahasa Jawa.Â
Sayangnya, saya lupa nama marga Jaton dari Mas Suratno yang seingat saya juga terdengar sangat njawani yang tentunya tidak sekedar sebagai pengingat trah-nya, sebagai pewaris darah para pejuang sekaligus darah Jawa sebagai pengikat kekerabatan dengan leluhurnya semata, tapi juga sebagai bukti adanya komunikasi, akulturasi, sampai toleransi faktual antar masyarakat di nusantara.Â
Dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung, sebuah ungkapan toleransi yang berkeadlian. Toleransi yang tidak melebihi kewajiban dan tidak mengurangi haknya masing-masing sebagai anak bangsa.
Membincang orang Jaton tentu segaris dengan menyebut entitas Jawa gambut di Kalimantan Selatan dan Tengah, Pujakesuma di Sumatera atau Jamer alias Jawa Merauke di Papua atau komunitas  hasil silang budaya lainnya di seluruh pelosok nusantara yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Iniah Indonesia! Â
Sayangnya lagi, obrolan kami terputus setelah kami mendapatkan tempat duduk berjauhan saat di pesawat yang akan mengantar kami ke Bandara Juanda Surabaya. Sayang sekali ya, padahal saya sudah antusias dan ingin sekali menggali informasi tentang semua seluk beluk Jaton langsung dari sumbernya. Semoga ada sumur diladang ya Mas Ratno, biar kita bisa numpang mandi...