Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasi Kuning Cempaka dan Misteriusnya Tragedi di Pagi Subuh

5 Desember 2022   22:32 Diperbarui: 5 Desember 2022   22:33 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anak pian kah ini bang!?  Tanyaku pada Bang Amat,  tapi mungkin karena sedang asyik menenangkan si-kecil, sepertinya Bang Amat tidak begitu mendengar pertanyaanku. 

"Iya sayaaang! Insha Allah setelah ini, kita ke tempat mama dan  terus sarapan nasi kuning cempaka lauk ampadal kesukaan pian!" Hibur Bang Amat kepada si bocah yang sepertinya memang anaknya tersebut, sambil melirik ke arahku.

Tapi anehnya, sekelebatan aku melihat bulir air mata di sudut mata Sidin yang sepertinya sengaja ditahan agar tidak terjatuh. Melihat "drama" di hadapanku, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang telah terjadi di dalam keluarga Bang Amat.

"Ilham guring-lah di kamar, hari masih gelap nak!" Sepertinya Bang Amat agak kewalahan juga menenangkan Ilham. Beruntung, setelah Bang Amat berhasil meyakinkannya untuk segera ke tempat mamanya  setelah pekerjaan selesai, membuat tangis Ilham reda dan mau masuk lagi ke dalam bilik untuk mahadangi pekerjaan abahnya selesai.

Sepeninggal Ilham, Bang Amat terlihat langsung menyeka buliran air mata yang mulai turun membasahi pipinya.

"Memang mama Ilham tinggal dimana Bang?" Tanyaku pelan sambil jongkok di samping Sidin, tapi demi melihat situasi yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja ini, sebenarnya aku ingin menyudahinya dengan mundur untuk kembali duduk ke bangku kayu dan membiarkan drama ini menjadi milik mereka berdua saja.

Tapi...

"Mama Ilham, baru saja meninggal dunia dua hari yang lalu Pak, kasian Ilham Pak, dia sekarang pasti bingung, tidak ada lagi yang menyuapinya sarapan nasi kuning cempaka lauk ampadal kesukaannya". Dengan mata yang berkaca-kaca, Bang Amat akhirnya menceritakan peristiwa mengerikan yang menyebabkan kematian Mama Ilham. Sampai disini aku hanya bisa diam dan benar-benar dibuat terduduk kembali di kursi kayu itu.

"Pagi itu setelah shalat Subuh, Mama Ilham berniat membeli Nasi kuning Cempaka kesukaan mereka sekeluarga, terutama  Ilham yang mempunyai favorit lauk ampadal. Tapi nahas, dalam perjalanan pulang ban belakang sepeda motor yang dinaiki bocor dan saat sidin memeriksa ban, tiba-tiba ada mobil yang melaju tidak terkendali menghantam Sidin hingga terpental beberapa meter dan akhirnya meninggal di tempat".

"TKP kecelakaan hanya beberapa meter saja dari pintu keluar masjid raya yang berjarak sekitar setengah pal alias lima ratusan meter dari sini". Bang Amat menjelasan detail TKP sambil tangannya menunjuk ke arah yang kurang lebih sama dengan lokasiku kebocoran ban tadi.

Karenanya, tiba-tiba aku teringat dengan rangkaian kejadian yang kualami pagi ini. Ibu-ibu bermukena putih misterius itu, kebocoran ban sepeda motorku dan nasi kuning lauk ampadal itu, "kenapa semua seperti ada benang merahnya!?  Astaghfirullah, Jangan-jangan...?" Batinku dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun